“Lebur Anyong Saling Sedok of
Methode” oleh Roma Hidayat, seorang ketua
Yayasan Advokasi Buruh Migran Indonesia (ADBMI), yang tinggal di Desa
Lepak, Kecamatan Sakra Timur.
“Kami memang berniat untuk membuka
usaha, bahkan rencana usaha sudah ada, saya punya keterampilan untuk membuat
ini dan itu, tinggal mencari modal ini saja yang menjadi kendala”.
Jawaban senada di atas, hampir pasti
kita temukan pada kebanyakan orang. Dari Sabang sampai Merauke. Kesulitan modal
(diperparah lagi oleh adanya penyempitan makna dari modal itu sendiri sebagai
uang semata), sehingga tidak atau belum bisa memulai usaha adalah penyakit akut
rata-rata orang Indonesia. Tapi anehnya, amat jarang (meskipun ada, tapi
prosentasenya sangat kecil) dari mereka yang punya jawaban dari jenis di atas
yang mampu mendeskripsikan dengan gamblang dan menyakinkan jika diajukan
pertanyaan, berapa tepatnya jumlah modal uang yang dibutuhkan untuk
merealisasikan ide usaha ekonomi produktifnya itu. Sehingga muncullah
kecurigaan, bahwa sesungguhnya modal uang memang tetap penting, tapi bukanlah
persoalan utama serta pertama yang menjadi kendala sebagian dari siapapun yang
mengemukakan alasan di atas. Bahkan Parhiah sang guru mengingatkan pada soalan,
“jangan-jangan, mereka memang hanya
berkeinginan jadi pengusaha tapi tidak memiliki jiwa kewirausahaan?”.
Tulisan ini diinspirasi oleh dua
hal. Yang pertama, datang dari pengalaman berguru pada Parhiah 52Th.,
seorang ibu rumah tangga yang tidak tamat SD, dan mampu selama kurang lebih 17
tahun mempertahankan jualan kue tradisional Kerake di tengah gempuran makanan
produk pabrikan yang ditunjang oleh iklan TV (tentu dengan figur yang tampan
dan cantik-cantik, dengan bumbu aksi yang cenderung bohong, misal; sehabis
makan produk tertentu, si model bisa terbang atau berubah jadi macan). Menjual
sesuatu yang sangat biasa, kue rumahan yang setiap ibu, setiap rumah tangga di
Lombok hampir pasti bisa membuatnya, ia mampu mengantar delapan orang
anaknya ke bangku pendidikan semua bahkan sampai di perguruan tinggi. Yang
kedua, pertanyaan bernada sindiran ke ADBMI, yakni lembaga yang saya pimpin:
“ADBMI kok berubah haluan dari
advokasi ke soal ketengan, usaha bakulan? Kamu
mau membangunkan metode lama? Karikatif* tuh!, damprat beberapa krtitikus”.
Ada benarnya, tapi di pojok yang
lain ada kurang benarnya juga. Kritikan itu saya yakin tumbuh dari nawaitu demi
kebaikan. Apatah lagi, saya dan Parhiah, master saya itu masih jauh dari
kualifikasi kelayakan disebut ekonom. So, pada dimensi ini, semua dialektika
itu wajar.
“Bung, apa kabar, mohon maaf tidak
sempat pamit, saya sudah di bandara mau ke Malaysia untuk cari modal usaha.
Semoga ADBMI tetap jaya.”
Demikian itu bunyi salah satu
teks SMS (pesan singkat) yang saya terima. Selang beberapa saat kemudian, dan
hampir setiap bulan, selalu saja ada SMS dengan content sejenis saya
terima dari orang yang berbeda-beda. Angka minimalnya, satu orang setiap bulan.
Para pengirim SMS ini adalah teman-teman terbaik kami dalam mendorong gerakan
advokasi issue BMI (Buruh Migran Indonesia) alias TKI & Trafficking.
Mereka ini adalah pengurus dari organisasi sosial orang desa. Berbagai diskusi,
pelatihan, seminar terkait bagaimana penanganan masalah BMI dan Trafficking
berbasis orang desa telah diberikan ke mereka, dengan harapan, persoalan itu
dapat ditangani oleh orang desa sendiri, hanya untuk melapor, tidak perlu
jauh-jauh pergi ke kota dengan biaya yang akan semakin membebani mereka dan
kalaupun sudah sampai di tangan aparat yang berwenang, dibutuhkan waktu dan
biaya ekstra lagi. Bila masalah datang, orang desa tidak perlu lagi menunggu
kehadiran orang luar desa (outsider) untuk sekedar meminta kembali uang
mereka dari para calo atau hanya untuk mengecek sah tidaknya Job Order
yang dibawa oleh seorang oknum calo.
Pelatihan dan pelatihan, seminar dan
seminar, workshop, FGD dengan tema-tema bagaimana masyarakat desa mampu
melakukan ide-ide kami tentang perlindungan BMI. Mekanisme perlindungan hukum
berbasis komunitas yang kami impikan ternyata tidak mampu mengerem derasnya
arus migrasi. Gejala migrasi ini tidak hanya menjangkiti para pengurus LSD, tapi
juga sebagian besar anggota masyarakat yang pernah terlibat dalam berbagai
ajang kegiatan kami di desa, pada akhirnya, rela atau terpaksa, menjadi TKI.
Baru belakangan dan tentu saja
terlambat kami sadari bahwa pendekatan kapasitasi advokasi untuk orang desa
yang selama ini kami lakukan ternyata tidak cukup manjur untuk orang kampung.
Kesalahanya kami adalah terhanyut oleh praktek yang berangkat dari penyempitan
tafsir dari advokasi untuk pemberdayaan masyarakat sebagai pendekatan hukum dan
paralegal lengkap dengan peluit, kaus kaki dan baretnya semata. Lembaga Sosial
Desa (LSD) yang seperti namanya berkegiatan secara sosial untuk menangani,
membantu teman, keluarga dan dirinya sendiri tidak bisa menekan jumlah laju
orang desa untuk menjadi TKI. Beberapa tahun sudah, kami terus mendorong mereka
melakukan monitoring, investigasi kasus, pendampingan kasus, mediasi,
konseling dan reintegrasi pada korban pelanggaran hak BMI. Dan mereka lakukan
dengan sangat baik. Terkadang lebih baik dari kami, melebihi rencana kami.
Tapi kemudian, kasus masih tetap
saja tinggi. Karena apa yang kami lakukan belum mampu menekan laju jumlah orang
desa yang menjadi TKI. Orang-orang desa itu, yang meskipun mereka tahu bahwa
korban telah banyak yang mati, gila, stress, diperkosa, lumpuh. Orang desa itu
juga tahu, bahwa mereka tidak bisa baca tulis, masih di bawah umur, tidak bisa
bahasa asing. Dan mereka juga tahu, bahwa mereka sepertinya tidak punya
pilihan, harus menjadi TKI. Karena selama ini, di kampung-kampung ,yang mereka
juga menjadi TKI adalah solusi bagi himpitan ekonomi. Dengan TKI, rumah bisa
dibangun, dengan TKI mereka punya biaya untuk kawin. Dan akhirnya kamipun tahu,
bahwa di antara orang desa yang tetap ngotot dengan semangat ’45 untuk menjadi
BMI itu, terdapat kawan-kawan, kader-kader terbaik di desa para pengurus LSD
itu. Itulah rahasia besar yang mendorong kami untuk berfikir, mendefinisikan,
mendesign ulang gerakan pendampingan advokasi desa. Bahwa pendekatan hukum
semata, satu aspek saja, tidak akan menyelesaikan satu persoalan. Pemberdayaan
ekonomi, minimal untuk pengurus LSD, harus kami lakukan.
Untuk meyakinkan saja. Tengoklah
jumlah warga desa yang bermigrasi di dua desa dampingan ini. Desa Gereneng dan
Desa Gelanggang di wilayah Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur. Pada
tahun 2009, jumlah penduduk desa Gereneng sebanyak 9.662 jiwa dan
jumlah penduduk TKI 811 orang (laki-laki 768 orang, sedangkan perempuan 43
orang) atau 8,3% dari total jumlah penduduk. Nah, ketika kami
lakukan update data per September 2010, ada peningkatan BMI
menjadi 1.104 jiwa (11%). Sementara, perbandingan antara BMI yang berdokuemn
dan tidak adalah 7,1% (58 orang dari 811 total BMI) yang non-prosedural pada
tahun 2009 dan 2010 ini terdapat 8,5% (94 orang dari 1.104 total BMI). Beralih
ke desa tetangga sebelah, desa Gelanggang, tahun 2009 sebelum pemekaran,
penduduknya 11.882 jiwa yang tersebar di 8 Dusun. Dan setelah pemekaran (4
dusun ikut desa mekar dan 4 dusun tetap menjadi wilayah induk) berjumlah
5.608 jiwa.
Tahun 2009, jumlah BMI 908 orang
(laki-laki 819 orang dan perempuan 89 orang) dari jumlah tersebut yang
pergi dengan menggunakan PJTKI resmi atau berdokumen berjumlah 736 dan yang
bermigrasi tanpa dokumen lengkap sebanyak 172 orang. Per September 2010, jumlah
penduduk setelah pemekaran adalah 5.608 orang, dan jumlah BMI
sebanyak 635 (11,3%) orang terdiri dari laki–laki 576 orang dan
perempuan 59 orang dan yang melalui jalur resmi sebanyak 559 orang dan
non-PT(PJTKI) atau tidak sesuai prosedur versi pemerintah sebanyak 86 orang.
Gejala di dua desa ini sama. Yaitu terjadi kenaikan jumlah BMI. Beruntungnya, update
database ini dilakukan sebelum musim panen tembakau episode 2010 ini
final.
Jika, dilakukan setelahnya, di mana
saat tulisan ini dibuat, kondisinya, hampir semua petani tembakau mengalami
kerugian karena perubahan jadwal hujan, dihapusnya kebijakan minyak omprongan
tembakau oleh pemerintah dan diganti kebijakan yang jauh dari bijak, konversi
minyak tanah ke batu bara sebagai bahan bakar oven tembakau. Maka, tentu data-data
di atas akan meledak lebih dahsyat dibanding ledakan tabung gas Elpiji. Karena
pada saat update di lakukan, longlist warga yang menyatakan niat, sedang
ancang-ancang, menunggu calling visa datang, sudah mendaftar ke sebuah agency
begitu panjang.
Karena
Adam, Moyang Ras Manusia Adalah Pelopor Migrasi Pertama
Pada banyak kesempatan. Tidak
sedikit usulan yang menegaskan bahwa persoalan migrasi ini tidak menguntungkan
bangsa, merendahkan martabat bangsa, cost social yang kita bayar terlalu
tinggi. Dan solusi yang ditawarkanpun, terkadang ekstreem. Migrasi ini wajib
hukumnya dihentikan. Bahwa negara harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan
seluruh kericuhan penempatan dan perlindungan BMI ini langsung ke jantung
persoalan. Yaitu, negara menciptakan lapangan kerja dan perbaikan kondisi
ekonomi dalam negeri secepatnya. Demikian bunyi ide-ide yang berseliweran.
Solusi yang sangat sederhana dan
enteng. Namun sebentar dulu, yang sederhana itu formula kalimatnya saja. Jika
di-breakdown lagi, apa dan bagaimana melakukannya, meskipun memang wajib
kita terima serta laksanakan ide mulia ini, ditambah lagi , hal itu bukanlah
barang mustahil untuk bangsa besar jelmaan Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya
ini. Kelemahan yang diidap oleh solusi gagasan ini adalah, karena sifatnya yang
jalan keluar jangka panjang. Dan oleh karena kita tidak pernah diajari atau
memang karakter alamiah bangsa ini sebagai akibat makan buah padi (nasi), saya,
Anda, mereka yang berkuasa dan sepertinya hampir kita semua orang Indonesia ini
kurang cukup sabar untuk mengikuti proses. Cenderung pragmatis, dan sementara
itu korban masih terus akan berjatuhan, entah berapa lagi jumlahnya. Bisa jadi,
saya atau Anda giliran berikutnya. Mengingat itu semua, berapa lama jangka
waktu yang kita butuhkan untuk memperbaiki kondisi BMI ini berbasis pada solusi
jangka panjang tersebut?.
Di kamar sebelah, gagasan lain
pun berkembang. Berseberangan dengan fikiran yang pertama, bahwa migrasi ini di
samping tidak bisa, juga tidak boleh dihentikan. Karena migrasi adalah hukum
alam, kecuali atas motif lari dari hukuman, kriminal dan terorisme dan atau
melarikan anak atau istri tetangga, seorang migran tidak boleh dilarang atau
dihalangi, baik karena alasan ekonomi (mencari pekerjaan atau gaji yang lebih
tinggi), alasan politik (mencari suaka) maupun sekedar pelesiran, ziarah ke
tanah dan tempat suci, mencari pendidikan yang lebih layak, bisnis, jual beli
dan lain sebagainya.
Pangkal fikirannya adalah migrasi
merupakan asbab permulaan lahirnya peradaban bumi. Ia bahkan merupakan
kemampuan dasar penghuni planet ini dalam mempertahankan hidup (survival).
Tercatatlah Nuh, Nabi seagai pelopor era purba migrasi karena banjir besar.
Dus, jika ditarik lebih purba lagi, keberadaan ras manusia di bumi inipun
merupakan buah dari migrasi, yaitu Adam, Nabi yang melakukan perjalan lintas
alam dari surga yang abadi ke bumi yang fana ini. Forced Migration
(migrasi terpaksa) ke bumi karena didepak Tuhan akibat mendekati Tanaman
Khuldi (bukan tempatnya di naskah ini mendebatkan, apakah waktu migrasi
itu, Adam moyang manusia itu sempat atau tidak membawa biji bibit Khuldi itu).
Dan kita sekarang di era ini, dalam era globalisasi dengan seluruh fenomenanya,
borderless, makin mendorong derasnya arus migrasi. Tidak ada satupun
negara di dunia ini yang sepanjang itu sesuai dengan peraturan
perundangannya dapat menutup diri bagi kedatangan bangsa lain, dan atau
melarang warganya keluar.
Sri Mulyani, Mantan Menteri Keuangan yang sekarang menjadi pekerja Bank Dunia adalah profile TKW Indonesia yang elegan
Sri Mulyani, Mantan Menteri Keuangan yang sekarang menjadi pekerja Bank Dunia adalah profile TKW Indonesia yang elegan
Masih membahas, fikiran di kamar
sebelah yang membolehkan migrasi dan melarang pelarangannya. Persoalan Buruh
Migran Indoensia itu bukan pada migrasinya, tapi aspek impotensi perlindungan
dari pemerintah, lemah lunglainya negara dalam menjalankan mandat konstitusinya
sebagai pengayom, pembina dan pelindung warganya sendiri. Pada kasus migrasi
orang Lombok, celakanya, amburadulnya perlindungan ini semakin diperumit oleh
topologi migrasi yang dilakukan orang Sasak masuk dalam kategori migrasi purba
tadi, yaitu Forced Migration, migrasi yang terpaksa dilakukan karena
buruknya kondisi ekonomi dan dunia kerja di tanah tumpah darah sendiri.
Bahkan tidak sedikit pihak yang
sesat fikir dan kufur tindakan. Ingkar terhadap jasa dan kontribusi besar
pahalwan devisa ini. Hanya karena, kebanyakan BMI ini adalah wong ndeso
yang hanya bisa kerja pakai otot di ladang-ladang, perkebunan atau
konstruksi sebagai tenaga kasar dan kalau lebih tidak beruntung lagi kalau dia
perempuan, maka akan mengerjakan pekerjaan yang sama dengan pekerjaan di
rumahnya sendiri. Sang perempuan hanya pindah tempat kerja, dari rumahnya ke
rumah orang lain (majikan) dengan segala resikonya. Oleh karenanya, stigma BMI
adalah kelas ayam sayur, kelas ketiga semakin erat menempel di jidat semua BMI
kita. Dan celaka 13, fenomena ini tidak hanya berhenti di stigma saja. Bukan
cerita burung, bukan gosip, bahwa aparatur negara yang harusnya melindungi, di
bandara, imigrasi bahkan para diplomat, aparatur negara yang kerja di KBRI-KBRI
ataupun Konjen, yang gajinya diambil dari pajak para BMI ini, memperlakukan
para BMI sangat diskriminatif, melecehkan dengan kata maupun perbuatan, tidak
sedikit juga BMI yang pernah mendapat tindakan kekerasan berupa pemukulan.
Alih-alih melakukan pembelaan, justru BMI balik disalahkan oleh para diplomat
karena melapor buruknya situasi kerja yang dihadapi. Stttt, ada banyak
cerita juga, kalau untuk bertemu Atase Tenaga Kerja di KBRI harus lewat
calo atau perantara. Mereka sepertinya gengsi ketemu sama kita, keluh Muhtadi
dari desa Lepak, salah seorang BMI yang pernah kerja di Saudi. Tanpa disadari,
sesungguhnya, para diplomat yang merasa kelasnya lebih tinggi itu adalah Buruh
Migran juga, bermigrasi untuk menyambung hidup dengan bekerja di kantor-kantor
perwakilan negara ini.
Berbalik 180 derajat, sangat
berbeda pandangan, perlindungan, apresiasi dan sikap aparatur negara
serta sebagian kelompok masyarakat terhadap sosok seperti Sri Mulyani, mantan
Menteri Keuangan republik ini yang sekarang menjadi TKW, berburuh di kantor
Bank Dunia. Sama–sama bekerja, sama-sama mengirim remittance berupa
uang. Bedanya hanya pada jumlah dan sektor pekerjaan saja. Jika Sri Mulyani
bekerja memakai jas, punya asisten dan dapat mengirim remittance setiap
bulan ke keluarganya di tanah air dalam jumlah yang cukup besar (sama dengan
pendapatan 50 orang TKW yang kerja domestik di Malaysia dalam 12 bulan),
sementara kebanyakan TKW kita harus menabung dulu selama 4-6 bulan supaya
ongkos kirim tidak lebih mahal dari jumlah yang dikirim. Tentu kita semua
berharap, bahwa semua TKW kita dapat seperti Sri Mulyani TKW yang elegan itu.
Tapi kembali lagi, siapakah yang bertanggung jawab untuk mencetak tenaga kerja
se-profile Sri Mulyani, melatih orang supaya cerdas,dan terampil seperti
Sri Mulyani. Yang demikian itu adalah tanggung jawab negara juga. Dan
kenyataannya bagaimana?. Kita telah maklum bersama, jadi tidak akan saya soroti
di sini masalah ini.
Betul ada Remitance Sosial dan
Ekonomi, tapi ada juga harga yang harus di bayar. Lalu di tengah suasana
per-BMI-an kita yang morat-marit, gelap-gulita ini, bagaimana sebaiknya kita,
seperti apa kelakuan yang tepat?. Pada suatu ketika, entah tepatnya di mana,
nasehat di atas dibisikkan seorang teman. Ide dasar dari ungkapan ini sejalan
dengan melakukan langkah kecil untuk mewujudkan mimpi besar. Dari pada terus
menerus mengecam (tindakan ini sah dan merupakan hak warga negara dalam konteks
negara demokrasi), meminta pihak yang bertanggung jawab , katakanlah dalam hal
ini pemerintah untuk segera memperbaiki situasi perekonomian negara, membuka
lapangan kerja sehingga tidak ada lagi arus forced migration workers (BMI
yang terpaksa menjadi BMI karena tiadanya harapan perbaikan ekonomi di kampung
halaman). Upaya ini adalah menyalakan lilin untuk jalan terang ketika situasi
gelap. Yaitu ketika situasi, dimana bicara tidak diperhatikan, teriak tidak
lagi didengarkan, tulisan tidak lagi dibaca. Maka bergerak dengan percaya pada
kekuatan potensi diri adalah sebuah pilihan yang strategis.
Karena dengan mengutuk dan berdiam
diri, persoalan BMI ini menyebar seperti kanker yang menggegeroti seluruh
dimensi kehidupan individu, keluarga BMI, komunitas dan bahkan berbangsa kita
(contoh kasus, Malaysia sekarang tak respect lagi Pak Cik).
Migrasi meningkatkan kerentanan dan menurunkan ketahanan sosial ekonomi
masyarakat lokal. Ini disebabkan oleh berubahnya cara fikir dan sikap para
keluarga migran dalam menilai dan mengelola sumber daya yang mereka miliki.
Yang paling kongkrit adalah berubahnya potret masyarakat agraris dan bahari
yang dulu melekat pada masyarakat Lombok, apalagi yang tinggal di pedesaan.
Kekinian ini, berdasar sensus 2010,
65% lebih masyarakat Lombok masih menjadikan pertanian sebagai penghidupan
pokok, tapi yang sebenarnya terjadi adalah mereka masih mengakui dirinya
sebagai petani, tapi tidak menseriusi pertanian tersebut, dan banyak pula yang
tidak memiliki lahan pertanian. Belakangan membias lagi, sebutan petani
adalah asal bukan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Aparatur pembuat KTP (Kartu Tanda
Penduduk) pun kerap terjebak untuk mengisi kolom pekerjaan, dengan asosiasi
swasta atau petani dalam kolom pekerjaan yang tidak diisi oleh pemohon KTP.
Untuk itu. Harus ada upaya untuk kembali merapikan benteng pertahanan sosial ekonomi komunitas desa kita ini. strateginya?, jika pada ketahanan pangan kita mengenal diversifikasi. Tidak ada padi maka kita makan ubi, dan atau ketika sagu habis, kita tidak perlu panik menderita lapar, puasa berkepanjangan karena masih ada kacang dan jagung. Maka, demikian ini juga perlu dilakukan pada komunitas ini. Masyarakat Komunitas BMI harus didorong untuk melakukan pencarian mata pencaharian alternatif, tidak menjadikan BMI sebagai pekerjaan pokok. Tidak hanya menginvestasikan seluruh hasil keringatnya untuk membeli sepeda motor agar bisa berprofesi sebagai pengojek. Mereka harus didorong untuk menginvestasikan remittance sosial, berupa keterampilan bikin roti cane, bahasa arab atau canton, cara bercocok tanam, membuat masakan yang dijual di restaurant luar negeri dan ekonomi berupa uang ke usaha yang produktif berkelanjutan. Mampu membuat mereka tidak pergi lagi menjadi BMI untuk kesekian kalinya. Artinya, untuk itu jiwa kewirausaahan (enterpreunership) harus dimiliki oleh mereka. Dengan variasi jenis usaha, maka jika satu uaha gagal, masih ada sandaran usaha lainnya tempat berharap.
Untuk itu. Harus ada upaya untuk kembali merapikan benteng pertahanan sosial ekonomi komunitas desa kita ini. strateginya?, jika pada ketahanan pangan kita mengenal diversifikasi. Tidak ada padi maka kita makan ubi, dan atau ketika sagu habis, kita tidak perlu panik menderita lapar, puasa berkepanjangan karena masih ada kacang dan jagung. Maka, demikian ini juga perlu dilakukan pada komunitas ini. Masyarakat Komunitas BMI harus didorong untuk melakukan pencarian mata pencaharian alternatif, tidak menjadikan BMI sebagai pekerjaan pokok. Tidak hanya menginvestasikan seluruh hasil keringatnya untuk membeli sepeda motor agar bisa berprofesi sebagai pengojek. Mereka harus didorong untuk menginvestasikan remittance sosial, berupa keterampilan bikin roti cane, bahasa arab atau canton, cara bercocok tanam, membuat masakan yang dijual di restaurant luar negeri dan ekonomi berupa uang ke usaha yang produktif berkelanjutan. Mampu membuat mereka tidak pergi lagi menjadi BMI untuk kesekian kalinya. Artinya, untuk itu jiwa kewirausaahan (enterpreunership) harus dimiliki oleh mereka. Dengan variasi jenis usaha, maka jika satu uaha gagal, masih ada sandaran usaha lainnya tempat berharap.
Tapi,
Benarkah Kewirausahaan Bisa Dipelajari?
Persoalan memang tidak mudah. Kalau
mudah, tentu sudah selesai semenjak dahulu kala. Muncul pertanyaan, benarkah enterpreunership
bisa dipelajari?. Secara main-main, saya sering mengkritik beberpa teman saya
yang lulusan sekolah ekonomi, sarajana ekonomi, dan kemudian menjadi
guru/pendidik, tapi mereka tidak pandai berekonomi. Buktinya ekonomi mereka
pas-pasan, bahkan di bawah kesejahteraan mereka yang tidak sarjana ekonomi dan
atau murid-murid mereka yang sering bolos waktu pak guru ekonomi itu asyik
dengan teorinya di depan kelas. Sesungguhnya ilmu dagang itu kan sederhana
sekali, yaitu barang yang dibeli atau berbiaya produk seharga Rp.100,-
harus dijual Rp.150,- atau Rp.200,- dan lainnya. Yang penting wajib hukumnya
punya selisih lebih, lebih dari harga beli tersebut supaya tidak rugi.
Sekali lagi, urusan mendorong
usaha mikro ini memang tidak sederhana. Karena sudah sekian banyak
kurikulum, sekian banyak pelatihan kewirausahaan, sekian triliyun kredit untuk
usaha kecil dan koperasi. Tapi apakah upaya yang sekian banyak tadi sepadan
dengan capaian kemajuan pertumbuhan usaha kecil yang ada?. Jawabnnya adalah
tidak sepadan. Kalau dari sisi ekonomis, tentu sangat tidak ekonomis. Terlalu
besar sudah investasi pemerintah dan donor dalam bidang usaha menumbuhkan usaha
mikro ini dan hasilnya terlalu kecil. Maka, kami mengaca dan berfikir ulang.
Sebaiknya dari mana ADBMI harus memulai?.
“Porok-Porok
Timbang Momot”
Alhasil, kami mencoba untuk memulai
dengan belajar kembali tentang usaha mikro ini. Tapi tidak kepada profesor
dengan ukuran kepelontosan sebagai ukuran keahlian, tidak mendatangi
ekonom sebagai guru. Kami belajar kepada orang-orang biasa yang ada di sekitar
kampung. Mereka yang telah memiliki, mengelola usaha mikro bahkan sangat mikro.
Di antaranya Parhiah, Ismail dan Pathur. Mereka ini adalah mantan BMI
yang banting setir menjadi pengusaha kecil. Mungkinkah ini yang dimaksud orang
sebagai people to people learning base methode?. Yang jelas, kami di
Lombok menyebutnya dengan metode lebur anyong saling sedok.
Awalnya saya hampir ragu bahwa cara
ini tidak akan berhasil. Bagaimana tidak, mereka para mantan BMI suhu kami itu
menyebut usahanya sebagai porok-porok timbang momot (iseng isi waktu
dari pada menganggur, Bahasa Sasak)?.
Dulu, beberapa waktu yang lampau, sebelum menyadari kedahsyatan philosophy yang tersembunyi di balik selimut ungkapan porok-porok ini. Kerap membuat saya senewen dan menjatuhkan vonis bahwa budaya porok-porok inilah yang membuat komunitas Sasak ini terpuruk, serba tanggung serba canggung di semua sisi kehidupannya. Sampai kemudian, lambat laun saya memperhatikan. Dan ini kuncinya, jawab-jawaban itu secara umum saya dapatkan dari mereka yang tergolong sukses, mapan dan kaya menurut ukuran desa. Orang yang tergolong miskin, biasanya akan menjawab lebih serius, misal dengan menjawab, lagi kerjakan ini dan itu, buat saluran air dan sebagainya.
Dulu, beberapa waktu yang lampau, sebelum menyadari kedahsyatan philosophy yang tersembunyi di balik selimut ungkapan porok-porok ini. Kerap membuat saya senewen dan menjatuhkan vonis bahwa budaya porok-porok inilah yang membuat komunitas Sasak ini terpuruk, serba tanggung serba canggung di semua sisi kehidupannya. Sampai kemudian, lambat laun saya memperhatikan. Dan ini kuncinya, jawab-jawaban itu secara umum saya dapatkan dari mereka yang tergolong sukses, mapan dan kaya menurut ukuran desa. Orang yang tergolong miskin, biasanya akan menjawab lebih serius, misal dengan menjawab, lagi kerjakan ini dan itu, buat saluran air dan sebagainya.
Mau bukti? Silakan jalan-jalan
keliling desa, dan meskipun tidak direncanakan, anda akan bertemu dengan
seseorang yang sedang melakukan sesuatu, entah menggarap sawah, menganyam bambu
atau rotan dan sebagainya, lalu ketika ditanya “lagi ngapain Pak/Bu?”.
Meski dengan mata telanjang bulat ataupun segitiga anda melihat mereka sedang
bekerja dengan sepenuh hati, bercucuran keringat, sampai kulit legam
terpanggang terik matahari dan bahkan biasanya terjadi pada kaum ibu, mata
mereka sampai mempunyai kantong hitam persis sekian milimeter di bawah kelopak
mata sebagai pertanda kurang tidur. Jawaban yang akan anda terima , sangat
enteng, “porok-porok timbang momot”, terjemah bebasnya adalah “lagi
iseng mengisi waktu ketimbang nganggur”. Dan mereka pun bukannya tidak tahu
kalau Anda bertanya juga dengan sepenuh jiwa raga sebagai bentuk ekspressi
keramahan made in orang kampung.
Apakah jawaban mereka itu main-main,
setengah atau seperempat serius?. Meski sudah sungguh-sungguh anda mencari tapi
masih saja tidak menemukan ada gejala serius pada jawaban itu. Saya berikan
garansi, bahwa itu super serius, haqqul serius. Dan oleh karenanya
semoga saja ini bukan filoshofi umum masyarakat dalam menghabiskan waktu untuk survive
hidup. Baru kemudian saya menyadari, bahwa apa yang dilakukan itu sebaiknya
diresapi sebagai hobi, sebuah kesenangan yang ketika melakukakannya kita tidak
merasa tertekan karena sedang bekerja, tapi sedang menyalurkan hobi. Kondisi
psikologi ini penting untuk dibangun dan dimiliki oleh semua orang, untuk
menghindari terlalu cepat putus asa ketika apa yang dilakukan belum sesuai
dengan rencana. Kondisi kejiwaaan yang tidak tertekan, releks dan senang ini
juga sangat positif dalam memberikan ketahanan dan ketajaman berfikir menemukan
solusi/langkah alternative ketika ada hambatan yang selalu datang di luar
rencana dan kehendak kita.
Komunitas
Selalu Menemukan Jalannya
Jadi ingat sama pesan seorang
sahabat sekaligus guru dari negeri ayam pertama berkokok setia paginya (jika
betul, Jepang memang tempat matahri terbit), nobuaki wada. Wada san,
tiada bosannya mengingatkan saya dan beberapa rekan untuk terus berguru
pada masyarakat. Mereka lah guru sebenarnya. Komunitas tetap ada, bertahan dan
berkembang melewati semua tantangan baik tantangan kreasi manusia maupun alam,
bencana kekeringan, kebakaran, wabah, banjir. Mereka terbukti dan teruji
melewati semua masalah itu, untuk itu mereka layak disebut guru. Jangan datang
bawa solusi ke masyarakat, karena itu memang kebutuhan dan masalah komunitas,
mereka akan menemukan jalannya. Demikian prinsip yang diajarkannya.
Sejalan dengan prinsip ini, Parhiah dan Sumiati mantan TKW yang beralih profesi
menjadi pengusaha juga mengajarakan prinsip yang sama. Jika ada yang mengatakan
ingin berusaha, tapi belum memulai karena alasan uang, maka bisa jadi, mereka
hanya ingin, tapi sesungguhnya tidak memiliki jiwa kewirausahaan itu. Bukti
kongkritnya adalah mereka-mereka itu, guru kami.
Apa kekuatan komunitas sehingga
mereka bisa begitu. Salah satu kekuatannya adalah penerapan lebur anyong
saling sedok. Banjar, gotong royong adalah salah satu buah dari nilai ini.
Nilai-nilai yang terdapat dalam lebur
anyong saling sedok (menyatu dalam kebersamaan, saling melengkapi).
Persisnya, ungkapan tersebut adalah mencontohi garam. Dalam
setiap makanan, garam hampir selalu ada, kalau tidak ada, dipastikan makanan
akan hambar. Soto ayam, sate, sup dan lain-lain, garam tidak pernah disebut,
namun ya tetap konsisten melaksanakan apa yang mestinya dilakukan.
Kedahsyatan jiwa kewirausahaan ini
membuat mereka yang sudah mempraktekkannya, memutuskan untuk pensiun dini
menjadi BMI. Lihatlah guru kami yang lainnya, Sumiati. Seorang mantan TKW dari
Desa Bagik Payung Selatan Kecamatan Suralaga yang dapat membangun sebuah usaha
kecil-kecilan dari hasil remitansi. Cukup 2 tahun saja di Malaysia sebagai pembantu
rumah tangga (2002 -2004). Dengan pembagian peran yang baik antara suami dan
isteri, ekonomi keluarga semakin mapan. Pada saat ini, suaminya memang
masih bekerja di Malaysia , perkebunan kelapa sawit. setiap tahun, suaminya
mengirimkan uang yang digunakan untuk membiayai usaha yang dijalankan saat ini
serta untuk biaya pendidikan dua anak laki-lakinya kelas 3 SMA jurusan
Kesehatan dan satunya masih SMP. Omset tiap bulan usahanya adalah Rp.20juta.
Bahkan bila hari ramai seperi pasar mingguan hari Sabtu, ia bisa mendapatkan
keuntungan Rp.500ribu/hari dan hari-hari biasa Rp.300ribu. Usaha ini dibangun
sejak tahun 2006. Kios ini menjual jajanan pasar dan menerima pesana untuk
acara-acara. Salah satu strategi pemasarannya adalah, jika ada acara rapat atau
lainnya di kantor desa, maka ia menawarakn katering dengan kompensasi boleh di
bayar belakangan alias dihutang dulu.
Mau contoh lain lagi?. Ini
perkenalkan Ismail, Mantan TKI asal desa yang sama dengan Sumiati. Berkali-kali
bolak-balik menghabiskan umur bekerja ke Malaysia sejak masih muda. Terhitung
sebanyak lima kali. Pulang awal tahun 2008, merupakan kepergian ia terkahir ke
luar negeri. Ia pensiun untuk pulang dan menikah. Di kampung sekarang ia hidup
rukun dengan istri sambil menjaga kios, buah keringat kerja di luar negeri.
Untuk modal membuat kios berasal dari kiriman Ismail tiap tahun yang diterima
keluarganya. Kios ini telah ada sejak tahun 2006. Ketika masih bujang itu, kini
telah diperbaharui dan dibuat lebih permanen. Omset bulananyapun sudah Rp.12juta.
Cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di kampung.
Menjual Hal yang Biasa Supaya
Menjadi Luar Biasa
Kita kembali ke sosok Parhiah.
Padanya kami mendapatkan begitu banyak pesan dan kesan yang mendalam. Bagaimana
seorang ibu tua mampu menjual sesuatu yang biasa menjadi liar biasa. Mampu
memaksa lidah orang elit kecanduan kue Kerake buatannya. Para pembelinya
sanggup datang di bawah guyuran hujan yang lebat, masuk ke gang-gang kampung
yang sempit datang ke rumah Parhiah di tengah pemukiman desa Tanjung untuk
suatu tujuan, mendapatkan kue Kerake, sebab jika tidak antre, bila terancam
tidak kebagian sebab kehabisan stock diborong pembeli yang lain.
Salah tiga dari beberapa nilai dan
prinsip yang diajarkannya adalah tidak serakah. Untuk itu, jangan sungkan untuk
memberikan insentive pada mereka yang terlibat membantu usaha anda. Ini
dibuktikan oleh Parhiah, kepada Tukang Ojek yang selama ini menjadi distributor
kuenya (delivery services). Ia berikan insentive berupa uang jika mampu
menjual lebih dari target. Berikutnya adalah, buatlah produk dengan nama dan
bentuk yang berbeda, meskipun bahan dasarnya sama. Misal, bahan tepung, dapat
dikreasikan menjadi makanan yang berbeda-beda namanya. Di samping itu, ia juga
berpesan:
“supaya menghayati kegiatan usaha itu dengan
senang hati, seperti engkau menikmati hobimu, persis dengan perasaan riang
gembira ketika main kartu domino atau remi. Tak peduli engkau kalah atau
menang, yang penting tetaplah nikmati!”. “Apakah persis begitu?”,
kejar saya. “Tidak kurang, tidak lebih”, pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar