NEWS

Label

Kamis, 15 Desember 2016

Kesaktian Muzammil dari Tetebatu Selatan



Adalah Muzammil, kini terdaftar sebagai salah satu pejabat penting di Desa Tetebatu Selatan. Mulai merambah jenjang karir di Pemerintahan Desa sejak tahun 2012 sebagai Kepala Urusan Ketentraman dan Ketertiban (Trantib). Kebetulan ditunjuk sebagai salah satu peserta dalam pelatihan “Pengorganisasian Komunitas Laki-laki Idaman” perwakilan dari desa TBS pada tahun 2013 lalu dalam program kerjasama ADBMI dengan OXFAM tentu saja membuka pandangan pemuda yang biasa dipanggil “Pak Zem” ini tentang kodrat laki-laki dan perempuan serta bagaimana praktek bias gender berlaku dalam kehidupan sehari-hari di keluarga dan masyarakat sekitarnya. Apalagi posisinya yang terlahir sebagai anak terakhir dari 6 bersaudara dan laki-laki memberi pandangan yang berbeda tentang bagaiamana selama ini keluarganya membedakan antara dirinya dan saudara-saudara perempuannya membuatnya sedikit mulai memahami arti dari kodrat laki-laki dan perempuan baik dilihat dari agama maupun budaya yang sebenarnya. Ketimpangan ini membuat dirinya sedikit berpikir mengapa hal ini terjadi, namun kebiasaan yang sudah membudaya membuatnya hanya menerima keadaan karena bingung harus bagaimana untuk mencari tahu sumber atau awal dari kebiasaan tersebut. Latar belakang inilah yang membuat Pak Zem sangat antusias dengan adanya program LLB/LLI di desanya yang ternyata juga banyak menjawab pertanyaannya selama ini.
Pemuda kelahiran 1989 ini kemudian diberikan kesempatan untuk menduduki jabatan sebagai Kepala Urusan (KAUR) di Pemerintahan Desa tetebatu Selatan. Hal ini menjadi peluang bagi dirinya untuk mempelajari banyak hal dan membuat perubahan di desanya atau minimal di keluarganya. Piawai dalam mengurusi masalah Trantib (Ketenteraman dan Ketertiban) dibumbui dengan ide menarik untuk keberlangsungan program LLI dengan mengusung program GEMASARI yakni akronim dari Greakan Menyapu Satu Hari khusus laki-laki di desa TBS membuat posisi Pak Zem semakin dianggap penting oleh Kades TBS. Bagian pentingnya adalah saat Kades TBS, Pak Gunanto yang memang ingin merubah desanya dengan semangat pemuda menggantikan satu-persatu pejabat di desa termasuk Kadus. Tersiratlah nama Muzammil sebagai salah satu Kadus Sompang menggantikan kadus sebelumnya yang telah habis masa jabatan. Meskipun masih berstatus PJS untuk Dusun Sompang, wewenang yang dimiliki persis sama dengan Kadus. Berbagai ide pembangunan dan pemberdayaanpun semakin banyak tercurah termasuk salah satunya adalah membentuk Kelompok Usaha Perempuan (yang beranggotakan ister-isteri para TKI) yang bergerak di bidang usaha makanan (jajanan basah) yang dipasok ke sekolah-sekolah di seputar desa TBS. Bahkan kini, pria berparas bak artis korea ini sudah seperti “tangan kanan” Pak Kades, beberapa urusan terkadang tidak membutuhkan persetujuan Pak Kades, beliau cukup “menandatangani“ bagian mengetahui. Sang Kadus pun semakin leluasa mengatur pembangunan dan pemberdayaan di dusun kelahirannya tersebut. Perubahan ini juga semakin menginspirasi Kades sehingga beberapa gerakan yang dilakukan Pak Zem di dusunnya direplikasi di beberapa dusun lain dengan menggerakkan kadus dan kader sebagai pion terdepan. Pak Zem yang kini sudah memiliki isteri sejak 2015 lalu tampak berubah, tidak seperti pada saat masih lajang. Menurut pengakuan isterinya (Ibu Hilmi), Pak Zem memang sering bersikap manja (bawaan anak terakhir) padanya tetapi dalam hal pekerjaan rumah, beliau tidak ragu ikut turun tangan dan membantu mengerjakan. Menurut Pak Zem, perubahan pola pikir (melawan arus budaya yang keliru) adalah sesuatu yang pasti terjadi, namun kapan waktunya adalah sebuah misteri, meski demikian kita harus mulai dari diri sendiri.

LSD Jenggik Utara Gelar Tes VCT HIV AIDS untuk BMI dan Keluarganya



Catatan Harian Paralegal dan Konselor Jenggik Utara
LSD Jenggik Utara Gelar Tes VCT HIV AIDS untuk BMI dan Keluarganya
Untuk mewujudkan migrasi yang aman dan sehat membutuhkan dukungan dari semua pihak. Selain berasal dari pemerintah dengan paket-paket programnya, juga keberadaan stakeholder seperti perusahaan jasa keberangkatan TKI, Karang Taruna, LSD signifikan dalam mewujudkan warga bermigrasi aman. Berbagai upaya telah dilakukan oleh komponen-komponen tersebut seperti membuat perangkat hukum dalam bentuk Peraturan Daerah, Peraturan Desa atau awiq-awiq yang secara spesifik melindungi BMI dan keluarganya. Akan tetapi satu kecenderungan umum yang cukup mengkhawatirkan adalah kecenderungan dari stakeholder tersebut melihat perlindungan hanya pada kondisi hilir BMI, yakni pada aspek pemberangkatan dan penempatan.
Sementara secara tindakan hulu seringkali dilupakan. Sehingga kita seringkali melihat tindakan terutama dari SKPD Pemerintahan (Dinas STT) atau Kepala Daerah yang melakukan tindak penanganan secara kasuistik. Seperti yang dituturkan oleh Direktur ADBMI, Roma Hidayat pada beberapa kesempatan bahwa konsep perlindungan mesti dilihat secara komprehensif. Kondisi TKI dan TKW bukan hanya dilihat dari penempatan dan kasus yang menimpa TKI pada kurun periode tersebut, akan tetapi juga melihat efek yang dihasilkan setelah penempatan. Seperti kesehatan para TKI, kemampuan untuk maksimalisasi remittance oleh keluarganya dan tentunya aturan yang lebih secara spesifik mengatur masalah per-TKI-an.
Desa Jenggik Utara yang merupakan satu di antara 10 desa yang menjadi desa pemasok TKI/TKW juga menyadari hal tersebut. Keberadaan Perdes Perlindungan TKI dan TKW di desa tersebut sejak tahun 2009 memberikan jaminan keamanan sendiri bagi warga yang memutuskan bermigrasi. Di samping itu, terminimalisirnya kerja-kerja para tekong yang melakukan perekrutan illegal menjadi satu keberhasilan tersendiri. Hal ini sinkron dengan hasil pendataan BMI terpilah yang dilakukan oleh LSD Tunas Paice (salah satu lembaga yang konsen melindungi dan mengayomi BMI di tingkatan desa) yang menyatakan pada tahun 2012 sebanyak 449 warga berangkat dengan dokumen yang lengkap, 28 warga secara mandiri melalui keimigrasian dan yang tidak berdokumen sebanyak 10 orang. Bandingkan dengan tahun 2011 yang jumlah TKI tidak berdokumen sebanyak 41 orang dan pada tahun 2009 berjumlah 44 orang. Ini artinya terjadi perkembangan yang positif terutama menyangkut migrasi aman.
Sementara itu, Lembaga Sosial Desa Tunas Paice Desa Jenggik Utara pun intens mengawal Perdes tersebut, bagi lembaga ini, kejahatan yang seringkali dilakukan oleh para tekong dan agency mesti dikawal secara serius dan ditindak tegas. Tindakan litigasi maupun non-litigasi sering dilakukan ketika menemui kasus-kasus yang terjadi pada TKI dan keluarganya. Dari kerja dan kemenangan-kemenangan kecilnya dalam penanganan kasus, antusiasme warga begitu terlihat, bukan hanya dari Desa Jenggik Utara melainkan juga dari desa dan kabupaten tetangga Lombok Tengah. Banyakanya laporan-laporan yang masuk ke LSD menjadi salah satu buktinya. Berikutnya sebagai pengembangan dan meneruskan akselerasi program, Lembaga Sosial Desa ini juga memprogramkan check kesehatan bagi keluarga BMI dengan melakukan Test VCT HIV Aids. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan oleh para TKI dan TKW ketika sudah pulang di tanah air, sekaligus sebagai bentuk perhatian untuk mengecek kesehatan mereka secara berkala. Pada kegiatan ini, LSD bekerjasama dengan Dinas Kesehatan dan Puskesmas Montong Gading.
Walaupun terlihat sulit, karena mengajak orang untuk melakukan tes kesehatan, dengan kolaborasi yang baik antara pemerintah desa, paralegal dan konselor, kegiatan ini mendapat atensi yang bagus dari masyarakat dan disambut dengan antusias yang tinggi dari peserta. Kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 18 September 2013 bertempat di Kantor Desa Jenggik Utara dihadiri sebanyak 24 peserta atau orang, yang terdiri dari 8 orang perempuan dan 16 orang laki-laki. Sehari setelah dilakukan test, pada tanggal 19 September 2013 hasil tes VCT menunjukkan semua peserta min alias tidak ada yang terinfeksi HIV Aids. Simak saja ungkapan dari Kepala Desa Jenggik Utara mengenai acara ini.
“Kami sangat mensyukuri terlaksananya kegiatan ini, para Kader LSD sudah menunjukkan kiprah dan memenuhi harapan-harapan desa dalam mewujudkan masyarakat yang aman dan terlindungi, terutama pada kondisi buruh migran di Desa Jenggik Utara. Saya tahu dan merasakan betul kondisi mereka, sebab saya juga merupakan alumnus dari TKI. Sehingga ketika ada kegiatan yang berkaitan dengan TKI dan TKW saya selalu respon. Ini semua untuk kepentingan masyarakat secara luas. Sebenarnya jumlah peserta bisa bertambah, asalkan dari pihak kesehatan, tim VCT datang tepat waktu. Semoga di acara-acara yang akan datang, bisa sukses lagi”.

Advokasi TKI Lewat Jalur Usaha Ketengan



“Lebur Anyong Saling Sedok of Methode” oleh Roma Hidayat, seorang ketua Yayasan Advokasi Buruh Migran Indonesia (ADBMI), yang tinggal di Desa Lepak, Kecamatan Sakra Timur.
“Kami memang berniat untuk membuka usaha, bahkan rencana usaha sudah ada, saya punya keterampilan untuk membuat ini dan itu, tinggal mencari modal ini saja yang menjadi kendala”.
Jawaban senada di atas, hampir pasti kita temukan pada kebanyakan orang. Dari Sabang sampai Merauke. Kesulitan modal (diperparah lagi oleh adanya penyempitan makna dari modal itu sendiri sebagai uang semata), sehingga tidak atau belum bisa memulai usaha adalah penyakit akut rata-rata orang Indonesia. Tapi anehnya, amat jarang (meskipun ada, tapi prosentasenya sangat kecil) dari mereka yang punya jawaban dari jenis di atas yang mampu mendeskripsikan dengan gamblang dan menyakinkan jika diajukan pertanyaan, berapa tepatnya jumlah modal uang yang dibutuhkan untuk merealisasikan ide usaha ekonomi produktifnya itu. Sehingga muncullah kecurigaan, bahwa sesungguhnya modal uang memang tetap penting, tapi bukanlah persoalan utama serta pertama yang menjadi kendala sebagian dari siapapun yang mengemukakan alasan di atas. Bahkan Parhiah sang guru mengingatkan pada soalan,
“jangan-jangan, mereka memang hanya berkeinginan jadi pengusaha tapi tidak memiliki jiwa kewirausahaan?”.
Tulisan ini diinspirasi oleh dua hal. Yang pertama, datang dari pengalaman berguru pada Parhiah 52Th.,  seorang ibu rumah tangga yang tidak tamat SD, dan mampu selama kurang lebih 17 tahun mempertahankan jualan kue tradisional Kerake di tengah gempuran makanan produk pabrikan yang ditunjang oleh iklan TV (tentu dengan figur yang tampan dan cantik-cantik, dengan bumbu aksi yang cenderung bohong, misal; sehabis makan produk tertentu, si model bisa terbang atau berubah jadi macan). Menjual sesuatu yang sangat biasa, kue rumahan yang setiap ibu, setiap rumah tangga di Lombok hampir pasti bisa membuatnya, ia mampu mengantar delapan orang anaknya ke bangku pendidikan semua bahkan sampai di perguruan tinggi. Yang kedua, pertanyaan bernada sindiran ke ADBMI, yakni lembaga yang saya pimpin:
“ADBMI kok berubah haluan dari advokasi ke soal ketengan, usaha bakulan? Kamu mau membangunkan metode lama? Karikatif* tuh!, damprat beberapa krtitikus”.
Ada benarnya, tapi di pojok yang lain ada kurang benarnya juga. Kritikan itu saya yakin tumbuh dari nawaitu demi kebaikan. Apatah lagi, saya dan Parhiah, master saya itu masih jauh dari kualifikasi kelayakan disebut ekonom. So, pada dimensi ini, semua dialektika itu wajar.
“Bung, apa kabar, mohon maaf tidak sempat pamit, saya sudah di bandara mau ke Malaysia untuk cari modal usaha. Semoga ADBMI tetap jaya.”
Demikian itu  bunyi salah satu teks SMS (pesan singkat) yang saya terima. Selang beberapa saat kemudian, dan hampir setiap bulan, selalu saja ada SMS dengan content sejenis saya terima dari orang yang berbeda-beda. Angka minimalnya, satu orang setiap bulan. Para pengirim SMS ini adalah teman-teman terbaik kami dalam mendorong gerakan advokasi issue BMI (Buruh Migran Indonesia) alias TKI & Trafficking. Mereka ini adalah pengurus dari organisasi sosial orang desa. Berbagai diskusi, pelatihan, seminar terkait bagaimana penanganan masalah BMI dan Trafficking berbasis orang desa telah diberikan ke mereka, dengan harapan, persoalan itu dapat ditangani oleh orang desa sendiri, hanya untuk melapor, tidak perlu jauh-jauh pergi ke kota dengan biaya yang akan semakin membebani mereka dan kalaupun sudah sampai di tangan aparat yang berwenang, dibutuhkan waktu dan biaya ekstra lagi. Bila masalah datang, orang desa tidak perlu lagi menunggu kehadiran orang luar desa (outsider) untuk sekedar meminta kembali uang mereka dari para calo atau hanya untuk mengecek sah tidaknya Job Order yang dibawa oleh seorang oknum calo.
Pelatihan dan pelatihan, seminar dan seminar, workshop, FGD dengan tema-tema bagaimana masyarakat desa mampu melakukan ide-ide kami tentang perlindungan BMI. Mekanisme perlindungan hukum berbasis komunitas yang kami impikan ternyata tidak mampu mengerem derasnya arus migrasi. Gejala migrasi ini tidak hanya menjangkiti para pengurus LSD, tapi juga sebagian besar anggota masyarakat yang pernah terlibat dalam berbagai ajang kegiatan kami di desa, pada akhirnya, rela atau terpaksa, menjadi TKI.
Baru belakangan dan tentu saja terlambat kami sadari bahwa pendekatan kapasitasi advokasi untuk orang desa yang selama ini kami lakukan ternyata tidak cukup manjur untuk orang kampung. Kesalahanya kami adalah terhanyut oleh praktek yang berangkat dari penyempitan tafsir dari advokasi untuk pemberdayaan masyarakat sebagai pendekatan hukum dan paralegal lengkap dengan peluit, kaus kaki dan baretnya semata. Lembaga Sosial Desa (LSD) yang seperti namanya berkegiatan secara sosial untuk menangani, membantu teman, keluarga dan dirinya sendiri tidak bisa menekan jumlah laju orang desa untuk menjadi TKI. Beberapa tahun sudah, kami terus mendorong mereka melakukan monitoring, investigasi kasus, pendampingan kasus, mediasi, konseling dan reintegrasi pada korban pelanggaran hak BMI. Dan mereka lakukan dengan sangat baik. Terkadang lebih baik dari kami, melebihi rencana kami.
Tapi kemudian, kasus masih tetap saja tinggi. Karena apa yang kami lakukan belum mampu menekan laju jumlah orang desa yang menjadi TKI. Orang-orang desa itu, yang meskipun mereka tahu bahwa korban telah banyak yang mati, gila, stress, diperkosa, lumpuh. Orang desa itu juga tahu, bahwa mereka tidak bisa baca tulis, masih di bawah umur, tidak bisa bahasa asing. Dan mereka juga tahu, bahwa mereka sepertinya tidak punya pilihan, harus menjadi TKI. Karena selama ini, di kampung-kampung ,yang mereka juga menjadi TKI adalah solusi bagi himpitan ekonomi. Dengan TKI, rumah bisa dibangun, dengan TKI mereka punya biaya untuk kawin. Dan akhirnya kamipun tahu, bahwa di antara orang desa yang tetap ngotot dengan semangat ’45 untuk menjadi BMI itu, terdapat kawan-kawan, kader-kader terbaik di desa para pengurus LSD itu. Itulah rahasia besar yang mendorong kami untuk berfikir, mendefinisikan, mendesign ulang gerakan pendampingan advokasi desa. Bahwa pendekatan hukum semata, satu aspek saja, tidak akan menyelesaikan satu persoalan. Pemberdayaan ekonomi, minimal untuk pengurus LSD, harus kami lakukan.
Untuk meyakinkan saja. Tengoklah jumlah warga desa yang bermigrasi di dua desa dampingan ini. Desa Gereneng dan Desa Gelanggang di wilayah Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur. Pada tahun 2009, jumlah penduduk desa Gereneng  sebanyak 9.662 jiwa dan jumlah penduduk TKI 811 orang (laki-laki 768 orang, sedangkan perempuan 43 orang) atau 8,3% dari total jumlah penduduk.  Nah, ketika kami lakukan update data per September 2010,  ada peningkatan BMI menjadi 1.104 jiwa (11%). Sementara, perbandingan antara BMI yang berdokuemn dan tidak adalah 7,1% (58 orang dari 811 total BMI) yang non-prosedural pada tahun 2009 dan 2010 ini terdapat 8,5% (94 orang dari 1.104 total BMI). Beralih ke desa tetangga sebelah, desa Gelanggang, tahun 2009 sebelum pemekaran, penduduknya 11.882 jiwa yang tersebar di 8 Dusun. Dan setelah pemekaran (4 dusun ikut desa mekar dan 4 dusun tetap menjadi wilayah induk) berjumlah  5.608 jiwa.
Tahun 2009, jumlah BMI 908 orang (laki-laki 819 orang dan  perempuan 89 orang) dari jumlah tersebut yang pergi dengan menggunakan PJTKI resmi atau berdokumen berjumlah 736 dan yang bermigrasi tanpa dokumen lengkap sebanyak 172 orang. Per September 2010, jumlah penduduk setelah pemekaran adalah 5.608  orang,  dan jumlah BMI sebanyak 635  (11,3%) orang  terdiri dari laki–laki 576 orang dan perempuan 59 orang dan yang melalui jalur resmi sebanyak 559 orang dan non-PT(PJTKI) atau tidak sesuai prosedur versi pemerintah sebanyak 86 orang. Gejala di dua desa ini sama. Yaitu terjadi kenaikan jumlah BMI. Beruntungnya, update database ini dilakukan sebelum musim panen tembakau episode 2010 ini final.
Jika, dilakukan setelahnya, di mana saat tulisan ini dibuat, kondisinya, hampir semua petani tembakau mengalami kerugian karena perubahan jadwal hujan, dihapusnya kebijakan minyak omprongan tembakau oleh pemerintah dan diganti kebijakan yang jauh dari bijak, konversi minyak tanah ke batu bara sebagai bahan bakar oven tembakau. Maka, tentu data-data di atas akan meledak lebih dahsyat dibanding ledakan tabung gas Elpiji. Karena pada saat update di lakukan, longlist warga yang menyatakan niat, sedang ancang-ancang, menunggu calling visa datang, sudah mendaftar ke sebuah agency begitu panjang.
Karena Adam, Moyang Ras Manusia Adalah Pelopor Migrasi Pertama
Pada banyak kesempatan. Tidak sedikit usulan yang menegaskan bahwa persoalan migrasi ini tidak menguntungkan bangsa, merendahkan martabat bangsa, cost social yang kita bayar terlalu tinggi. Dan solusi yang ditawarkanpun, terkadang ekstreem. Migrasi ini wajib hukumnya dihentikan. Bahwa negara harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan seluruh kericuhan penempatan dan perlindungan BMI ini langsung ke jantung persoalan. Yaitu, negara menciptakan lapangan kerja dan perbaikan kondisi ekonomi dalam negeri secepatnya. Demikian bunyi ide-ide yang berseliweran.
Solusi yang sangat sederhana dan enteng. Namun sebentar dulu, yang sederhana itu formula kalimatnya saja. Jika di-breakdown lagi, apa dan bagaimana melakukannya, meskipun memang wajib kita terima serta laksanakan ide mulia ini, ditambah lagi , hal itu bukanlah barang mustahil untuk bangsa besar jelmaan Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya ini. Kelemahan yang diidap oleh solusi gagasan ini adalah, karena sifatnya yang jalan keluar jangka panjang. Dan oleh karena kita tidak pernah diajari atau memang karakter alamiah bangsa ini sebagai akibat makan buah padi (nasi), saya, Anda, mereka yang berkuasa dan sepertinya hampir kita semua orang Indonesia ini kurang cukup sabar untuk mengikuti proses. Cenderung pragmatis, dan sementara itu korban masih terus akan berjatuhan, entah berapa lagi jumlahnya. Bisa jadi, saya atau Anda giliran berikutnya. Mengingat itu semua, berapa lama jangka waktu yang kita butuhkan untuk memperbaiki kondisi BMI ini berbasis pada solusi jangka panjang tersebut?.
Di kamar sebelah, gagasan  lain pun berkembang. Berseberangan dengan fikiran yang pertama, bahwa migrasi ini di samping tidak bisa, juga tidak boleh dihentikan. Karena migrasi adalah hukum alam, kecuali atas motif lari dari hukuman, kriminal dan terorisme dan atau melarikan anak atau istri tetangga, seorang migran tidak boleh dilarang atau dihalangi, baik karena alasan ekonomi (mencari pekerjaan atau gaji yang lebih tinggi), alasan politik (mencari suaka) maupun sekedar pelesiran, ziarah ke tanah dan tempat suci, mencari pendidikan yang lebih layak, bisnis, jual beli dan lain sebagainya.
Pangkal fikirannya adalah migrasi merupakan asbab permulaan lahirnya peradaban bumi. Ia bahkan merupakan kemampuan dasar penghuni planet ini dalam mempertahankan hidup (survival). Tercatatlah Nuh, Nabi seagai pelopor era purba migrasi karena banjir besar. Dus, jika ditarik lebih purba lagi, keberadaan ras  manusia di bumi inipun merupakan buah dari migrasi, yaitu Adam, Nabi yang melakukan perjalan lintas alam dari surga yang abadi ke bumi yang fana ini.  Forced Migration (migrasi terpaksa) ke bumi karena didepak Tuhan  akibat mendekati Tanaman Khuldi (bukan tempatnya di naskah ini mendebatkan, apakah waktu migrasi itu, Adam moyang manusia itu sempat atau tidak membawa biji bibit Khuldi itu). Dan kita sekarang di era ini, dalam era globalisasi dengan seluruh fenomenanya, borderless, makin mendorong derasnya arus migrasi. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang sepanjang itu sesuai dengan peraturan perundangannya  dapat menutup diri bagi kedatangan bangsa lain, dan atau melarang warganya keluar.
Sri Mulyani, Mantan Menteri Keuangan yang sekarang menjadi pekerja Bank Dunia adalah profile TKW Indonesia yang elegan
Masih membahas, fikiran di kamar sebelah yang membolehkan migrasi dan melarang pelarangannya. Persoalan Buruh Migran Indoensia itu bukan pada migrasinya, tapi aspek impotensi perlindungan dari pemerintah, lemah lunglainya negara dalam menjalankan mandat konstitusinya sebagai pengayom, pembina dan pelindung warganya sendiri. Pada kasus migrasi orang Lombok, celakanya, amburadulnya perlindungan ini semakin diperumit oleh topologi migrasi yang dilakukan orang Sasak masuk dalam kategori migrasi purba tadi, yaitu Forced Migration, migrasi yang terpaksa dilakukan karena buruknya kondisi ekonomi dan dunia kerja di tanah tumpah darah sendiri.
Bahkan tidak sedikit pihak yang sesat fikir dan kufur tindakan. Ingkar terhadap jasa dan kontribusi besar pahalwan devisa ini. Hanya karena, kebanyakan BMI ini adalah wong ndeso yang hanya bisa kerja pakai otot di ladang-ladang, perkebunan atau  konstruksi sebagai tenaga kasar dan kalau lebih tidak beruntung lagi kalau dia perempuan, maka akan mengerjakan pekerjaan yang sama dengan pekerjaan di rumahnya sendiri. Sang perempuan hanya pindah tempat kerja, dari rumahnya ke rumah orang lain (majikan) dengan segala resikonya. Oleh karenanya, stigma BMI adalah kelas ayam sayur, kelas ketiga semakin erat menempel di jidat semua BMI kita. Dan celaka 13, fenomena ini tidak hanya berhenti di stigma saja. Bukan cerita burung, bukan gosip, bahwa aparatur negara yang harusnya melindungi, di bandara, imigrasi bahkan para diplomat, aparatur negara yang kerja di KBRI-KBRI ataupun Konjen, yang gajinya diambil dari pajak para BMI ini, memperlakukan para BMI sangat diskriminatif, melecehkan dengan kata maupun perbuatan, tidak sedikit juga BMI yang pernah mendapat tindakan kekerasan berupa pemukulan. Alih-alih melakukan pembelaan, justru BMI balik disalahkan oleh para diplomat karena melapor buruknya situasi kerja yang dihadapi. Stttt, ada banyak cerita juga, kalau untuk bertemu Atase Tenaga Kerja di KBRI harus lewat calo atau perantara. Mereka sepertinya gengsi ketemu sama kita, keluh Muhtadi dari desa Lepak, salah seorang BMI yang pernah kerja di Saudi. Tanpa disadari, sesungguhnya, para diplomat yang merasa kelasnya lebih tinggi itu adalah Buruh Migran juga, bermigrasi untuk menyambung hidup dengan bekerja di kantor-kantor perwakilan negara ini.
Berbalik 180 derajat, sangat berbeda pandangan, perlindungan, apresiasi  dan sikap aparatur negara serta sebagian kelompok masyarakat terhadap sosok seperti Sri Mulyani, mantan Menteri Keuangan republik ini yang sekarang menjadi TKW, berburuh di kantor Bank Dunia. Sama–sama bekerja, sama-sama mengirim remittance berupa uang. Bedanya hanya pada jumlah dan sektor pekerjaan saja. Jika Sri Mulyani bekerja memakai jas, punya asisten dan dapat mengirim remittance setiap bulan ke keluarganya di tanah air dalam jumlah yang cukup besar (sama dengan pendapatan 50 orang TKW yang kerja domestik di Malaysia dalam 12 bulan), sementara kebanyakan TKW kita harus menabung dulu selama 4-6 bulan supaya ongkos kirim tidak lebih mahal dari jumlah yang dikirim. Tentu kita semua berharap, bahwa semua TKW kita dapat seperti Sri Mulyani TKW yang elegan itu. Tapi kembali lagi, siapakah yang bertanggung jawab untuk mencetak tenaga kerja se-profile Sri Mulyani, melatih orang supaya cerdas,dan terampil seperti Sri Mulyani. Yang demikian itu adalah tanggung jawab negara juga. Dan kenyataannya bagaimana?. Kita telah maklum bersama, jadi tidak akan saya soroti di sini masalah ini.
Betul ada Remitance Sosial dan Ekonomi, tapi ada juga harga yang harus di bayar. Lalu di tengah suasana per-BMI-an kita yang morat-marit, gelap-gulita ini, bagaimana sebaiknya kita, seperti apa kelakuan yang tepat?. Pada suatu ketika, entah tepatnya di mana, nasehat di atas dibisikkan seorang teman. Ide dasar dari ungkapan ini sejalan dengan melakukan langkah kecil untuk mewujudkan mimpi besar. Dari pada terus menerus mengecam (tindakan ini sah dan merupakan hak warga negara dalam konteks negara demokrasi), meminta pihak yang bertanggung jawab , katakanlah dalam hal ini pemerintah untuk segera memperbaiki situasi perekonomian negara, membuka lapangan kerja sehingga tidak ada lagi arus forced migration workers (BMI yang terpaksa menjadi BMI karena tiadanya harapan perbaikan ekonomi di kampung halaman). Upaya ini adalah menyalakan lilin untuk jalan terang ketika situasi gelap. Yaitu ketika situasi, dimana bicara tidak diperhatikan, teriak tidak lagi didengarkan, tulisan tidak lagi dibaca. Maka bergerak dengan percaya pada kekuatan potensi diri adalah sebuah pilihan yang strategis.
Karena dengan mengutuk dan berdiam diri, persoalan BMI ini menyebar seperti kanker yang menggegeroti seluruh dimensi kehidupan individu, keluarga BMI, komunitas dan bahkan berbangsa kita (contoh kasus, Malaysia sekarang tak respect lagi Pak Cik).  Migrasi meningkatkan kerentanan dan menurunkan ketahanan sosial ekonomi  masyarakat lokal. Ini disebabkan oleh berubahnya cara fikir dan sikap para keluarga migran dalam menilai dan mengelola sumber daya yang mereka miliki. Yang paling kongkrit adalah berubahnya potret masyarakat agraris dan bahari yang dulu melekat pada masyarakat Lombok, apalagi yang tinggal di pedesaan.
Kekinian ini, berdasar sensus 2010, 65% lebih masyarakat Lombok masih menjadikan pertanian sebagai penghidupan pokok, tapi yang sebenarnya terjadi adalah mereka masih mengakui dirinya sebagai petani, tapi tidak menseriusi pertanian tersebut, dan banyak pula yang tidak memiliki lahan pertanian.  Belakangan membias lagi, sebutan petani adalah asal bukan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Aparatur pembuat KTP (Kartu Tanda Penduduk) pun kerap terjebak untuk mengisi kolom pekerjaan, dengan asosiasi swasta atau petani dalam kolom pekerjaan yang tidak diisi oleh pemohon KTP.
Untuk itu. Harus ada upaya untuk kembali merapikan benteng pertahanan sosial ekonomi komunitas desa kita ini. strateginya?, jika pada ketahanan pangan kita mengenal diversifikasi. Tidak ada padi maka kita makan ubi, dan atau ketika sagu habis, kita tidak perlu panik menderita lapar, puasa berkepanjangan karena masih ada kacang dan jagung. Maka, demikian ini juga perlu dilakukan pada komunitas ini. Masyarakat Komunitas BMI harus didorong untuk melakukan pencarian mata pencaharian alternatif, tidak menjadikan BMI sebagai pekerjaan pokok. Tidak hanya menginvestasikan seluruh hasil keringatnya untuk membeli sepeda motor agar bisa berprofesi sebagai pengojek. Mereka harus didorong untuk menginvestasikan remittance sosial, berupa keterampilan bikin roti cane, bahasa arab atau canton, cara bercocok tanam, membuat masakan yang dijual di restaurant luar negeri  dan ekonomi berupa uang ke usaha yang produktif berkelanjutan. Mampu membuat mereka tidak pergi lagi menjadi BMI untuk kesekian kalinya. Artinya, untuk itu jiwa kewirausaahan (enterpreunership) harus dimiliki oleh mereka. Dengan variasi jenis usaha, maka jika satu uaha gagal, masih ada sandaran usaha lainnya tempat berharap.
Tapi, Benarkah Kewirausahaan Bisa Dipelajari?
Persoalan memang tidak mudah. Kalau mudah, tentu sudah selesai semenjak dahulu kala. Muncul pertanyaan, benarkah enterpreunership bisa dipelajari?. Secara main-main, saya sering mengkritik beberpa teman saya yang lulusan sekolah ekonomi, sarajana ekonomi, dan kemudian menjadi guru/pendidik, tapi mereka tidak pandai berekonomi. Buktinya ekonomi mereka pas-pasan, bahkan di bawah kesejahteraan mereka yang tidak sarjana ekonomi dan atau murid-murid mereka yang sering bolos waktu pak guru ekonomi itu asyik dengan teorinya di depan kelas. Sesungguhnya ilmu dagang itu kan sederhana sekali,  yaitu barang yang dibeli atau berbiaya produk seharga Rp.100,- harus dijual Rp.150,- atau Rp.200,- dan lainnya. Yang penting wajib hukumnya punya selisih lebih, lebih dari harga beli tersebut supaya tidak rugi.
Sekali lagi, urusan mendorong usaha  mikro ini memang tidak sederhana. Karena sudah sekian banyak kurikulum, sekian banyak pelatihan kewirausahaan, sekian triliyun kredit untuk usaha kecil dan koperasi. Tapi apakah upaya yang sekian banyak tadi sepadan dengan capaian kemajuan pertumbuhan usaha kecil yang ada?. Jawabnnya adalah tidak sepadan. Kalau dari sisi ekonomis, tentu sangat tidak ekonomis. Terlalu besar sudah investasi pemerintah dan donor dalam bidang usaha menumbuhkan usaha mikro ini dan hasilnya terlalu kecil. Maka, kami mengaca dan berfikir ulang. Sebaiknya dari mana ADBMI harus memulai?.
“Porok-Porok Timbang Momot”
Alhasil, kami mencoba untuk memulai dengan belajar kembali tentang usaha mikro ini. Tapi tidak kepada profesor dengan ukuran kepelontosan  sebagai ukuran keahlian, tidak mendatangi ekonom sebagai guru. Kami belajar kepada orang-orang biasa yang ada di sekitar kampung. Mereka yang telah memiliki, mengelola usaha mikro bahkan sangat mikro. Di antaranya Parhiah, Ismail dan  Pathur. Mereka ini adalah mantan BMI yang banting setir menjadi pengusaha kecil. Mungkinkah ini yang dimaksud orang sebagai people to people learning base methode?. Yang jelas, kami di Lombok menyebutnya dengan metode lebur anyong saling sedok.
Awalnya saya hampir ragu bahwa cara ini tidak akan berhasil. Bagaimana tidak, mereka para mantan BMI suhu kami itu menyebut usahanya sebagai porok-porok timbang momot (iseng isi waktu dari pada menganggur, Bahasa Sasak)?.
Dulu, beberapa waktu yang lampau, sebelum menyadari kedahsyatan philosophy yang tersembunyi di balik selimut ungkapan porok-porok ini. Kerap membuat saya senewen dan menjatuhkan vonis bahwa budaya porok-porok inilah yang membuat komunitas Sasak ini terpuruk, serba tanggung serba canggung di semua sisi kehidupannya. Sampai kemudian, lambat laun saya memperhatikan. Dan ini kuncinya,  jawab-jawaban itu secara umum saya dapatkan dari mereka yang tergolong sukses, mapan dan kaya menurut ukuran desa. Orang yang tergolong miskin, biasanya akan menjawab lebih serius, misal dengan menjawab, lagi kerjakan ini dan itu, buat saluran air dan sebagainya.
Mau bukti? Silakan jalan-jalan keliling desa, dan meskipun tidak direncanakan, anda akan bertemu dengan seseorang yang sedang melakukan sesuatu, entah menggarap sawah, menganyam bambu atau rotan dan sebagainya, lalu ketika ditanya “lagi ngapain Pak/Bu?”. Meski dengan mata telanjang bulat ataupun segitiga anda melihat mereka sedang bekerja dengan sepenuh hati, bercucuran keringat, sampai kulit legam terpanggang terik matahari dan bahkan biasanya terjadi pada kaum ibu, mata mereka sampai mempunyai kantong hitam persis sekian milimeter  di bawah kelopak mata sebagai pertanda kurang tidur. Jawaban yang akan anda terima , sangat enteng, “porok-porok timbang momot”, terjemah bebasnya adalah “lagi iseng mengisi waktu ketimbang nganggur”. Dan mereka pun bukannya tidak tahu kalau Anda bertanya juga dengan sepenuh jiwa raga sebagai bentuk ekspressi keramahan made in orang kampung.
Apakah jawaban mereka itu main-main, setengah atau seperempat serius?. Meski sudah sungguh-sungguh anda mencari tapi masih saja tidak menemukan ada gejala serius pada jawaban itu. Saya berikan garansi, bahwa itu super serius, haqqul serius. Dan oleh karenanya semoga saja ini bukan filoshofi umum masyarakat dalam menghabiskan waktu untuk survive hidup. Baru kemudian saya menyadari, bahwa apa yang dilakukan itu sebaiknya diresapi sebagai hobi, sebuah kesenangan yang ketika melakukakannya kita tidak merasa tertekan karena sedang bekerja, tapi sedang menyalurkan hobi. Kondisi psikologi ini penting untuk dibangun dan dimiliki oleh semua orang, untuk menghindari terlalu cepat putus asa ketika apa yang dilakukan belum sesuai dengan rencana. Kondisi kejiwaaan yang tidak tertekan, releks dan senang ini juga sangat positif dalam memberikan ketahanan dan ketajaman berfikir menemukan solusi/langkah alternative ketika ada hambatan yang selalu datang di luar rencana dan kehendak kita.
Komunitas Selalu Menemukan Jalannya
Jadi ingat sama pesan seorang sahabat sekaligus guru dari negeri ayam pertama berkokok setia paginya (jika betul, Jepang memang tempat matahri terbit), nobuaki wada. Wada san, tiada bosannya mengingatkan saya dan beberapa  rekan untuk terus berguru pada masyarakat. Mereka lah guru sebenarnya. Komunitas tetap ada, bertahan dan berkembang melewati semua tantangan baik tantangan kreasi manusia maupun alam,  bencana kekeringan, kebakaran, wabah, banjir. Mereka terbukti dan teruji melewati semua masalah itu, untuk itu mereka layak disebut guru. Jangan datang bawa solusi ke masyarakat, karena itu memang kebutuhan dan masalah komunitas, mereka akan menemukan jalannya. Demikian prinsip yang diajarkannya.  Sejalan dengan prinsip ini, Parhiah dan Sumiati mantan TKW yang beralih profesi menjadi pengusaha juga mengajarakan prinsip yang sama. Jika ada yang mengatakan ingin berusaha, tapi belum memulai karena alasan uang, maka bisa jadi, mereka hanya ingin, tapi sesungguhnya tidak memiliki jiwa kewirausahaan itu. Bukti kongkritnya adalah mereka-mereka itu, guru kami.
Apa kekuatan komunitas sehingga mereka bisa begitu. Salah satu kekuatannya adalah penerapan lebur anyong saling sedok. Banjar, gotong royong adalah salah satu buah dari nilai ini.
Nilai-nilai yang terdapat dalam lebur anyong saling sedok (menyatu dalam kebersamaan, saling melengkapi). Persisnya, ungkapan tersebut adalah mencontohi garam. Dalam setiap makanan, garam hampir selalu ada, kalau tidak ada, dipastikan makanan akan hambar. Soto ayam, sate, sup dan lain-lain, garam tidak pernah disebut, namun ya tetap konsisten melaksanakan apa yang mestinya dilakukan.
Kedahsyatan jiwa kewirausahaan ini membuat mereka yang sudah mempraktekkannya, memutuskan untuk pensiun dini menjadi BMI. Lihatlah guru kami yang lainnya, Sumiati. Seorang mantan TKW dari Desa Bagik Payung Selatan Kecamatan Suralaga yang dapat membangun sebuah usaha kecil-kecilan dari hasil remitansi. Cukup 2 tahun saja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga (2002 -2004). Dengan pembagian peran yang baik antara suami dan isteri, ekonomi keluarga semakin mapan.  Pada saat ini, suaminya memang masih bekerja di Malaysia , perkebunan kelapa sawit. setiap tahun, suaminya mengirimkan uang yang digunakan untuk membiayai usaha yang dijalankan saat ini serta untuk biaya pendidikan dua anak laki-lakinya kelas 3 SMA jurusan Kesehatan dan satunya masih SMP. Omset tiap bulan usahanya adalah Rp.20juta. Bahkan bila hari ramai seperi pasar mingguan hari Sabtu, ia bisa mendapatkan keuntungan Rp.500ribu/hari dan hari-hari biasa Rp.300ribu. Usaha ini dibangun sejak tahun 2006. Kios ini menjual jajanan pasar dan menerima pesana untuk acara-acara. Salah satu strategi pemasarannya adalah, jika ada acara rapat atau lainnya di kantor desa, maka ia menawarakn katering dengan kompensasi boleh di bayar belakangan alias dihutang dulu.
Mau contoh lain lagi?. Ini perkenalkan Ismail, Mantan TKI asal desa yang sama dengan Sumiati. Berkali-kali bolak-balik menghabiskan umur bekerja ke Malaysia sejak masih muda. Terhitung sebanyak lima kali. Pulang awal tahun 2008, merupakan kepergian ia terkahir ke luar negeri. Ia pensiun untuk pulang dan menikah. Di kampung sekarang ia hidup rukun dengan istri sambil menjaga kios, buah keringat kerja di luar negeri. Untuk modal membuat kios berasal dari kiriman Ismail tiap tahun yang diterima keluarganya. Kios ini telah ada sejak tahun 2006. Ketika masih bujang itu, kini telah diperbaharui dan dibuat lebih permanen. Omset bulananyapun sudah Rp.12juta. Cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di kampung.
Menjual Hal yang Biasa Supaya Menjadi Luar Biasa
Kita kembali ke sosok Parhiah. Padanya kami mendapatkan begitu banyak pesan dan kesan yang mendalam. Bagaimana seorang ibu tua mampu menjual sesuatu yang biasa menjadi liar biasa. Mampu memaksa lidah orang elit kecanduan kue Kerake buatannya. Para pembelinya sanggup datang di bawah guyuran hujan yang lebat, masuk ke gang-gang kampung yang sempit datang ke rumah Parhiah di tengah pemukiman desa Tanjung untuk suatu tujuan, mendapatkan kue Kerake, sebab jika tidak antre, bila terancam tidak kebagian sebab kehabisan stock diborong pembeli yang lain.
Salah tiga dari beberapa nilai dan prinsip yang diajarkannya adalah tidak serakah. Untuk itu, jangan sungkan untuk memberikan insentive pada mereka yang terlibat membantu usaha anda. Ini dibuktikan oleh Parhiah, kepada Tukang Ojek yang selama ini menjadi distributor kuenya (delivery services). Ia berikan insentive berupa uang jika mampu menjual lebih dari target. Berikutnya adalah, buatlah produk dengan nama dan bentuk yang berbeda, meskipun bahan dasarnya sama. Misal, bahan tepung, dapat dikreasikan menjadi makanan yang berbeda-beda namanya. Di samping itu, ia juga berpesan:
“supaya menghayati kegiatan usaha itu dengan senang hati, seperti engkau menikmati hobimu, persis dengan perasaan riang gembira ketika main kartu domino atau remi. Tak peduli engkau kalah atau menang, yang penting tetaplah nikmati!”. “Apakah persis begitu?”, kejar saya. “Tidak kurang, tidak lebih”, pungkasnya.