NEWS

Label

Buruh Migran Belum Di Perhatikan

LOTIM-Kompleksitas permasalahan BMI di Kabupaten Lombok Timur selalu menjadi perbincangan hangat publik. Keberadaan stakeholder baik pemerintah maupun swasta dalam mengawal perlindungan ini masih berputar dan berkutat pada dinamika Migrasi Aman yang berdokumen. Persoalannya adalah apakah migrasi aman mampu menyelesaikan akar permasalahan BMI (Buruh Migran Indonesia) secara konkrit? Bagaimana dengan tanggungan yang ditinggakan BMI tersebut, tidakkah juga masuk dalam kategori pembiayaan yang mesti dianggarkan atas tiap remitansi yang dikirimkan?.


Hal tersebut menjadi issue utama yang terus didengungkan para aktivis advokasi buruh migran Indonesia yang pagi ini menggelar Focus group Discussion ( FGD ) dengan tema "anak Buruh migran,mencari keadilan"di lesehan rindang rasa selong.

Hadir dalam kesempatan itu berbagai instansi yg leading sektornya terkait persoalan dinamika buruh migran khusunya lombok Timur.

Dalam kesempatan itu perwakilan ADBMI Lotim Habib menyampaikan bahwa perlunya memberi proporsi pada  Konsep Migrasi Aman yang tidak hanya membicarakan konteks keamanan dan kenyamanan BMI (Buruh Migran Indonesia) di negara penempatan dengan kelengkapan dokumen serta kepatuhan terhadap kontrak kerja, melainkan juga secara spesifik menghubungkan keamanan dan kenyamanan pada keluarga yang ditinggalkan dan merupakan bagian yang terintegral dari BMI. Salah satu yang menjadi fokus penting  adalah  tentang masa depan anak BMI yang masih mengambang akibat pola pengasuhan anak yang tidak tepat. Hal ini yang mempengaruhi kondisi psikologis dan trend pergaulan anak tersebut bersama lingkungannya. Fakta bahwa tingginya angka warga yang bermigrasi aman belum menunjukkan ambivalensinya terhadap kesejahteraan keluarga BMI seperti yang ditetapkan pada rapat keluarganya ketika hendak bermigrasi. Fenomena migrasi daur ulang karena belum terjangkaunya pemenuhan cita-cita keluarga yang ditetapkan serta pola konsumsi keluarga BMI yang cenderung menempatkan pengelolaan uang kiriman (remitansi) dengan cara-cara yang tidak bijak. Sehingga pemenuhan dasar hak-hak yang tertanggung (Anak, Red) terbengkalai dan dilihat berdasarkan pola hubungan, mereka (anak-anak BMI ini) ditempatkan sebagai kelompok anak kelas dua atas spesifikasi anak lainnya.

Seringkali dari proses migrasi yang dilakukan walaupun ditempuh dengan cara aman dan berdokumen tidak terlepas dari konflik terutama yang berasal dari keluarga, baik istri maupun mertua. Persoalan yang timbul sebagian besar berasal dari kisruh pembagian remitansi (uang kiriman), miskomunikasi dan  perselingkuhan. Pada akhirnya, ketika keluarga mengalami disharmonisasi, anak selalu menjadi korban atas hal yang tidak dimengertinya. Bahkan pada satu  kasus tertentu, anak bisa saja menjadi alibi atas persoalan hebat di rumah tangga BMI. Ditemukan juga berbagai kasus anak-anak BMI mulai dari penelantaran sampai tidak berjaminnya pendidikan anak-anak mereka disebabkan anak-anak tersebut harus memikul dan terlibat aktif dalam aktivitas produksi yang ada dalam rumah tangga, sehingga waktu bermainnya pun sangat terbatas. Faktanya adalah Anak yang seharusnya identik dengan suplai hiburan dan pendidikan justru mendapati persoalan yang berat yakni ikut memikirkan nasib dan keberadaan ekonomi orang tuanya yang membuatnya tersisih dari teman bermainnya. Dari hal tersebut, jangan  heran  jika banyak anak BMI yang mengalami broken home dan berhadapan dengan hukum (ABH). Membuat mereka terisolir dari komunitasnya, mengalami ketertekanan psikologis dan minder bergaul dengan anak-anak lainnya.

Sementara dilihat dari perspektif hukumnya, anak berhak mendapatkan perlindungan dan pola pengasuhan yang tepat dari keluarganya.  Jika dilihat dari jumlah penempatan TKI Berdasarkan Data dari BNP2TKI pertahun 2013 Kabupaten Lombok Timur yang menyuplai 33.287 orang. Adapun untuk jumlah tanggungan berdasarkan ruang intervensi program ADBMI di 10 desa program pilot inisiative yang bekerjasama dengan yayasan TIFA Foundation dalam rangka penurunan derajat kemiskinan di 10 kantong desa penyuplai BMI yakni desa Jenggik Utara, Sukadana, Bagik Payung Selatan, Suralaga, Gereneng Timur, Gelanggang, Pijot, Selebung Ketangga, Sapit dan Suntalangu sejumlah 5.000-an

Walaupun dengan kompleksitas persoalan yang mendera anak-anak BMI tersebut, para stakeholder juga memperlihatkan kepeduliannya seperti yang dilakukan oleh ADBMI bersama LSD di 10 desa program untuk terus mengerjakan pilot-pilot inisiative guna perlindungan bagi anak-anak BMI, seperti contoh peruntukan lembaga PAUD untuk anak TKI di Desa Jenggik Utara (PAUD Al-Mukhsitin) serta dibentuknya asuhan keluarga yang sederhana untuk mengakomodir para anak-anak BMI baik untuk fasilitas bermain serta konselingnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar