DESA SUKARARA
Profil Desa
Desa Sukarara
adalah salah satu desa di Kecamatan Sakra Barat Kabupaten Lombok Timur Provinsi
Nusa Tenggara Barat, dimana sebelum tahun 1966 asih bergabung menjadi bagian
wilayah Desa Suwangi Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur. Kemudian pada
tahun 1966 Desa Suwangi dimekarkan sehingga terbentuklah Desa Sukarara. Adapun
Kepala Desa pertama dipimpin oleh H. Ainuddin dan dibantu oleh 4 Keliang
(Kepala Lingkungan), diantaranya sebagai berikut:
1. Keliang
Sukarara Utara dipimpin oleh Amaq Simbah
2. Keliang
Sukarara Selatan dipimpin Oleh Haji Muksin
3. Keliang
Sungai Bat dipimpin oleh Lalu Sakti
4. Keliang
Pejaring dipimpin oleh Amaq Isni
Pada Tahun 1981
istilah kekeliangan dirubah namanya menjadi kekadusan/ Kepala Dusun sesuai
dengan peraturan daerah no. 07 dan dimekarkan menjadi 6 dusun, diantaranya
sebagai berikut:
1. Kepala
dusun Tangar dipimpin oleh Amaq Murniati
2. Kepala
Dusun Sukarara Selatan dipimpin oleh Amaq Mustaan
3. Kepala
Dusun Sukarara Utara dipimpin oleh Amaq Erniwati
4. Kepala
Dusun Repoq dipimpin oleh Amaq Taan
5. Kepala
Dusun Dengkur Dipimpin oleh Lalu Mukdas
6. Kepala
Dusun Pejaring dipimpin oleh H. Mukmin Saleh.
Kemudian pada tahun 2011 Desa
Sukarara dimekarkan lagi menjadi 2 desa yakni Desa Sukarara dan Pejaring,
sehingga desa Sukarara menjadi
Pekadusan, diantaranya:
1. Kepala
dusun Tangar dipimpin oleh Mustafa
2. Kepala
Dusun Sukarara Selatan dipimpin oleh Lalu Putradi
3. Kepala
Dusun Sukarara Utara dipimpin oleh Amaq Hasanuddin
4. Kepala
Dusun Repoq dipimpin oleh Amaq Salim
5. Kepala
Dusun Sukawangi dipimpin oleh Lalu Suparman
Adapun Nama-nama Kepala Desa pada
masing-masing periode adalah sebagai berikut:
1. H.
Ainuddin Masa Jabatan 1966-1982
2. Masdah
Masa Jabatan 1982-1984
3. LLalu
Mukdas Masa Jabatan 1984-2000
4. Hamid,
ST Masa Jabatan 2000-2005
5. Lalu
Junaedi Masa Jabatan 2006-2012
6. Sahabuddin
Masa Jabatan 2012-Sekarang.
Topografi Desa Sukarara
Desa Sukarara
masuk pada derah topografi datar dengan ketinggian 300-400 DPL/Meter. Curah
hujannya 1.190 dengan suhu udara 25-30. Adapun untuk luasan wilayahnya 544,58
Ha. Batas-batas desa dan jarak antara tempuhnya sebagai berikut:
1. Sebelah
utara berbatasan dengan Desa Suwangi Kecamatan Sakra dan Desa Pejaring
Kecamatan Sakra Barat
2. Sebelah
Timur berbatasan dengan Desa Gunung Rajak Kecamatan Sakra dan Desa Pejaring
Kecamatan Sakra Barat
3. Sebelah
Selatan berbatasan dengan Desa Rensing Kecamatan Sakra Barat dan Desa Lekor
Kabupaten Lombok Tengah
4. Sebelah
Barat berbatasan dengan Desa Saba kecamatan Lombok Tengah
5. Jarak
tempuh ke ibukota kecamatan 3 KM
6. Jarak
Tempuh ke Ibukota Kabupaten 15 KM
7. JJarak
Tempuh Kota Propinsi 50 KM
Adapun Jumlah
penduduknya sebanyak 6033 Jiwa dengan Jumlah Laki-laki 3015 dan Perempuan 3018.
Jumlah KK 1842 dan 100% beragama Islam. Untuk mata pencaharian penduduk
sebagian besar menjadi Petani dengan jumlah 2015 Jiwa, Buruh Tani 1294 Jiwa, pedagang
88 Jiwa, PNS/TNI/Polri 10 Jiwa, Montir/sopir 14 Jiwa, Tukang Batu/Tkang Kayu
162 Jiwa, Guru 25 Jiwa, Karyawan Swasta 8 Jiwa, Pengrajin 20 Jiwa dan lainnya 6
Jiwa.
Tingkat Pendidikan, Ekonomi dan Pertanian
Untuk tingkat
pendidikan warga, Desa Sukarara tergolong desa yang menengah disbanding dengan
desa-desa lainnya di Kabupaten Lombok Timur, hal ini dilihat dari sebaran
penduduk berdasarkan tingkat pendidikannya sebagai berikut:
1. Pasca
Sarjana berjumlah 3 Orang
2. Sarjana
61 Orang
3. Diploma
III berjumlah 12 Orang
4. SMA
Sederajat berjumlah 505 Orang
5. SMP
Sederajat 877 Orang
6. SD/MI
berjumlah 1492 Orang
7. Tidak
Tamat SD/MI sebanyak 735 Orang
8. Buta
Huruf sebanyak 1178.
Dari data tersebut diatas,
ditemukan bahwa mayoritas penduduk Desa Sukarara hanya menamatkan pendidikan
pada tingkat SD dan buta Huruf. Kenyataan yang cukup memprihatinkan ketika di
saat yang bersamaan program pemerintah justru sedang berupaya mengurangi angka
warga yang buta huruf.
Untuk
Perekonomian warga Desa Sukarara terdapat pasar tradisional 1 unit, Kios/
warung sebanyak 37 unit dan indutri Meneng 6 Unit. Dari kondisi pendidikan dan ekonomi
selanjutnya menjadi cermin untuk basis produksi warga Desa Sukarara. Untuk
kondisi pertanian terutama pada Padi dan Palawija, sebagian besar warga menggunakan
luas areal lahannya untuk menanam padi yakni seluas 362,78 Ha, sementara untuk
Kacang Kedelai seluas 6,42 Ha dan Cabai 15,40 Ha. Untuk perkebunan sendiri,
warga desa Sukarara secara 100% menggunakan lahannya guna menanam tembakau
dengan luasan lahan 329, 24 Ha.
Fenomena Migrasi
Khusus mengenai
kondisi perekonomian di desa Sukarara tida terlepas juga dengan pengaruh
perekonomian global. Sehingga walaupun ketersediaan lahan yang begitu luas
untuk bertani, akan tetapi maslaah pemasaran dan biaya produksi yang besar
membuat petani banyak menyewakan lahannya dan kemudian mereka menjadi buruh
tani. Terdapat juga kepemilikan tanah luas yang dimiliki perseorangan sehingga
dari kondisi tersebut angka buruh tani sangat banyak. Hal ini berarti nasib
perekonomian warga setempat bergantung pada musim panen atau 2-3 x setahun.
Sementara itu, para pemilik lahan terutama yang menanam tembakau beberapa waktu
lalu juga banyak mengalami kerugian, sehingga membuat mereka berhutang yang
melebihi kuasanya.
Dari kondisi tersebut,
sabagai salah satu alternative ekonomi yang dibangun oleh warga, keputusan
untuk bermigrasi dan bekerja di negeri seberang menjadi suatu pilihan yang
selanjutnya menjadi tradisi sendiri bagi warga. Sayangnya sampai profil desa
ini dibuat belum dipastikan berapa jumlah TKI dan TKW untuk Desa Sukarara.
Kultur Masyarakat: Analisis Sosial Perempuan dalam mograsi (Faktor,
Beban dan Dampak yang diterima, peran dan tanggung jawab Pengelolaan Remittansi
dan dekriminasi yang dihadapi)
Desa Sukarara
termasuk Desa yang masih sangat kuat memegang adat dan tradisi nenek moyangnya.
Bersama desa tua lainnya keberadaan desa ini menjadi daerah penyuplai
kebudayaan untuk daerah, seperti yang tergambar pada jumlah kelompok Budaya
yang berjumlah 8 Kelompok yang terdiri dari kelompok Gendang Beleq, Cilokaq dan
KAsidah dan Kelompok Tradisi sebanyak 15 Kelompok yang terdiri dari KElompok
Banjar Kematian, Yasinan, Hiziban dan Arisan.
Selain menjaga
kelestarian alat-alat budaya dan kelompoknya, tradisi yang kuat pada hubungan
kekeluargaanpun juga masih lekat. Ini ditandai dengan kekhasan acara-acara
keluarha atau even kampung yang digelar pada setiap perayaan hari besar.
Pada konteks
gender, masih kuatnya tradisi patriarki di kalangan warga cukup menyulitkan
perempuan dalam berkreasi. Perempuan masih menjadi objek laki-laki dengan
posisi penerima keputusan. Adapun kekhususuan terjadi pada KK yang sudah maju
dilihat berdasarkan tingkat pendidikannya. Hal ini menyebabkan perspektif
gender masih belum sepenuhnya berjalan. Perempuan sebagian besar masih bekerja
di sector domestic (Sumur, Dapur dan Kasur).
Pada konteks
Migrasi, Perempuan masih sering menjadi korban. Hal ini terlihat dari tradisi merariq Kodek yang ketika suaminya putus
asa untuk memaksimalkan potensi sumber daya yang ada, kemudian memutuskan untuk
migrasi, tidak sedikit perempuan yang dicerai akibat kondisi ini. Setelah itu,
masih tingginya angka kawin cerai juga berakibat pada perempuan harus menjadi
Kepala Keluarga dan mandiri, dari hal inilah fenomena TKW juga muncul. Dalam
hal pengelolaan remittansi terutama bagi istri TKI, memunculkan banyak
perspektif negative terutama dari keluarga Sang TKI.
Secara khusus factor utama yang menyebabkan terjadinya dekriminasi dan
kesenjangan antara perempuan dan laki-laki beserta dampaknya di Desa Sukarara
adalah:
1. Budaya
patriarchal yang masih lekat di masyarakat setempat. Ini terlihat dari batasan
jam kerja yang diberlakukan terhadap perempuan, seperti contoh laki-laki
memiliki akses kerja sampai jam 12 malam, sementara perempuan sebelum maghrib
harus pulang ke rumahnya
2. Bias
dari Budaya Patriarki ini juga mengakibatkan perempuan desa Sukarara sampai
saat ini sebagian besar menjadi penerima keputusan dan cenderung pasif.
3. Tradisi
merariq Kodeq yang lebih banyak merugikan perempuan, sebab selain berpengaruh
pada reproduksinya juga sering mendapat perlakuan kasar dari suaminya karena
emosi yang masih labil
4. Tradisi
Kawin-cerai yang justru sebagian besar merugikan perempuan karena perempuan
harus menghidupi anaknya secara mandiri
5. Sandangan
Bebalu/ janda perempuan membuat posisi perempuan sangat rentan, sebab peluang
mereka mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari laki-laki lain dan
stigma buruk seringkali melekat ketika mereka memutuskan untuk bekerja.
Peran dan Tanggung Jawab dalam pengelolaan Remitansi dan dampak yang
diterima:
1. Perempuan
(Istri TKI) yang menerima dan mengelola remittance memiliki konsekuensi yang
sangat besar, selain tudingan miring seperti anggapan menghabiskan uang jerih
payah suami, juga sering dicurigai oleh mertuanya untuk dipergunakan pada
kesenangan pribadi atau yang lebih ekstrim lagi untuk berhubungan dengan
laki-laki lain. Seperti yang terjadi pada kasus Irwan Hadi yang akhirnya
menceraikan istrinya via telepon dari Malaysia.
2. Perempuan
penerima remittansi mendapat perlakuan yang tidak adil oleh mertuanya
disebabkan kecemburuan mertuanya karena tida mendapat bagian dari hasil jerih
payah anaknya. Ini seperti yang terjadi pada kasus amaq Sungkar yang ahirnya
sering cekcok bersama istrinya ketika ia di Negara kerja.
3. Perempuan
yang tepat dan memahami pengelolaan remittansi bisa mendorong suaminya yang
bekerja di Luar negeri lebih giat lagi dan sukses. Seperti yang tercermin dalam
rangkuman pengalaman Inaq Selih yang memiliki tanah 1 Ha, rumah, mobil serta
perlengkapan mewah lainnya.
4. Perempuan
yang mengelola remitansi dan mendapat kepercayaan dari suaminya mampu
mengontrol dan mengelola keuangan dengan baik. Ini membuat perempuannya juga
berinisiatif mencarikan solusi atas kebuntuan perekonomian keluarga. Seperti
inisiatifnya bekerja sebagai buruh tani atau yang lainnya. Seperti yang terjadi
pada pengalaman Inaq Imba (Istri Amaq Samiq) yang sampai sekarang bertani di
lahan miliknya (hasil jerih payah sang suami).
Ulasan Strategi Pengorganisiran dan Integrasi LLB
Petikan-petikan
pengalaman berharga mengenai cerita sukses dan gagal keluarga BMI dalam membina
harmonisasi keluarganya dan pengelolaan remitansi menjadi referensi berharga
dan kunci untuk penambahan referensi lainnya di Desa Sukarara. Dengan melakukan
refleksi atas temuan empiric keluarga BMI bisa menjadi media kampanye aktif
untuk memberikan penyadaran kepada kelompok laki-laki yang bermainstream
patriarki.
Kesuksesan-kesuksesan
yang didapatkan oleh para TKI tersebut diupayakan juga menjadi kesuksesan
bersama dengan menggunakan media penyadaran dari tokoh-tokoh local yang
tergabung dalam LSD. Sehingga sebelum ke warga pemantapan program dam
penyolidan organisasi LSD menjadi organisasi maju dan pro LLB mesti diupayakan
dan diseriusi. Dengan membuatkan kerangka pendampingan yang tercantum dalam
program yang dirancang pada saat revitalisasi LSD membuat program ini ke depan
efektif.
Selain itu,
catatan-catatan menarik seperti kisah-kisah pendampingan dan cerita sukses
mesti dirangkum dalam bulletin yang menjadi bahan konsumsi warga yang menjadi
sasaran program. Jika selama ini, stigma pemberdayaan gender lebih melibatkan
perempuan, maka pada program ini keterlibatan laki-laki terutama tokoh sentral
sangat diperlukan, sehingga perlu menggandeng 3 pilar desa yakni LSD, Aparat
Desa dan Keluarga BMI.
Ke depan
diharapkan adanya kelompok laki-laki baru yang secara khusus membantu perempuan
sebagai cerminan pembagian peran gender dalam rumah tangga. Seperti komunitas
bapak-bapak pergi ke pasar. Dengan langkah ini, diharapkan bisa menjadi
campaign visual altif dan menarik sekaligus sedikit demi sedikit mengikis
bidaya patriarki yang sudah lama tertanam dalam masyarakat.
Penggunaan media
cultural seperti materi Khutbah Jum’at, Tausiyah Keaagaamaan dengan referensi
ayat-ayat yang mumpuni atau even adat seperti rudat dan digelar dalam satu
pertemuan sepertinya menarik untuk lebih meyakinkan warga bahwa konsepsi LLB
memang selayaknya ada di Desa Sukarara. Untuk strategi pendampingan lebih
gambling dipaparkan pada File Powerpoint “Stratefi Pendampingan.
Sejarah TKI Desa
Sukarara
Dalam hal
pemenuhan kebutuhan hidup, bekerja di domestic dan memaksimalkan sumber daya
yang ada atau mengadu peruntungan untuk mengelola sumber daya luar demi
pendapatan yang berlimpah merupakan suatu pilihan. Khusus untuk opsi yang
terakhir ini, Warga Desa Sukarara mulai diperkenalkan info lowongan pekerjaan ke
luar negeri melalui oral communication
(Tutur Lisan dan cerita) dari salah satu
warga desa Rensing yang bernama Ayub. Berbekal kesuksesannya di negeri
Jiran, Ayub menginspirasi sekelilingnya. Salah satu yang tertarik untuk
mengikuti jejak Ayub adalah Amaq Samiq/ Aq. Irwan Hadi warga Desa Sukarara
dusun Sukarara Utara kelahiran tahun 1964. Tertarik dengan cerita kesuksesan
koleganya tersebut serta didukung oleh kondisi perekonomiannya yang carut
marut, Amaq Samiq akhirnya memutuskan berangkat ke Luar negeri dengan Negara
tujuan Malaysia Barat dan membawa peta cerita serta memakai jasa tekong Ayub.
Untuk merealisasikan keinginannya tersebut, Amaq Samiq menjual Lembu
pejantannya seharga 60.000.
Pada Tahun 1984
tepat diusianya yang ke 20 tahun, Amaq Samiq akhirya berangkat ke Malaysia
Barat setelah berceritera ke orang tuanya dan mendapatkan izin berangkat.
Adapun rute keberangkatan serta besaran biaya yang dikeluarkan adalah sebagai
berikut:
1. Lombok-Labu
Burung (Sumbawa) :
Rp. 5.000
2. Labu
Burung-Sungai Guntung (Sumatera/ Perbatasan) :
Rp. 30.000
3. Sungai
Guntung-Sungai Papan (Malaysia Barat) :
Rp. 40.000
4. Total
Biaya Keberangkatannya adalah :
Rp. 75.000
Amaq Samiq bekerja di Perkebunan
dengan kontrak lepas, yakni dibayar perhari sebesar 8 RM. Amaq Samiq bertahan
sampai Tahun 1986 kemudian memutuskan pulang ke tanah air dengan membawa
pengalaman dan cerita. Adapun untuk kesuksesannya saat itu adalah harga jual
lembu pejantannya kembali dan persiapan untuk Merariq/ menikah.
Pengalaman
Amaq Samiq bekerja di Luar negeri menjadi inspirasi dan membuat warga
sekelilingnya termotivasi untuk melakukan hal yang sama, terlebih Amaq Samiq mengulangi
keberangkatannya pada tahun 1987-1988, Tahun 1988-1989 dengan hasil dapat
membeli lembu serta membuat rumah. Maka mulailah warga desa Sukarara mengikuti
jejaknya. Terdapat kisah yang unik pada fakta migrasi di penyambut Tahun 1990. Salah
seorang warga Desa Sukarara berangkat ke Malaysia barat dengan rute yang sama
seperti Amaq Samiq. Akan tetapi keberangkatannya tanpa melalui keputusan
keluarga dan restu dari ibunya, maka dalam perjalanan, Amaq Menge (Nama warga
tersebut) menemui musibah yakni kapal tenggelam dan akhirnya tewas. Setelah
kasus ini, para warga Desa Sukarara tidak berani berangkat tanpa persetujuan
keluarga terutama ibunya. Sehingga terdapat ritual migrasi sebelum berangkat
dengan tujuan ucapan perpisahan sekaligus keselamatan dalam perjalanan serta
mendapatkan banyak rizki seperti yang dicita-citakan di tanah air. Adapun
ritualnya adalah calon TKI yang mau berangkat mesti keluar dari rumahnya
melalui pintu dalem kemudian setelah itu melewati selangkangan Ibunya.
Di
awal-awal 1990-an tepatnya Pada Tahun 1993 salah seorang warga Dusun Tangar
Sukarara yang bernama Amaq Sungkar alias Amaq Suparni kelahiran tahun 1963
bekerja ke Luar Negeri dengan tujuan Malaysia Barat. Adapun untuk rute
keberangkatan mengalami perubahan yang cukup signifikan, yakni
Sukarara-Lembar-Bali-Sumatera-Solo-Bengkalis-Malaka-Malaysia Barat dengan total
Biaya perjalanan sebesar Rp. 250.000. adapun motif keberangkatannya adalah
karena terjerat hutang yang mencapai angka Rp. 3.000.000. berangkat melalui
jasa tekong, Amaq Sungkar menemukan dirinya di Malaysia Barat dengan berenang
di perbatasan. Amaq Sungkar bekerja sebagai tenaga kerja dengan kontak lepas
dan medapat upah harian sebesar 12 RM. Dari hasilnya, dia mampu melunasi
hutangnya dan kemudian pulang pada tahun 1994. Adapun untuk pengiriman uangnya
dimulai dengan menggunakan jasa penitipan dan
pengantaran melalui teman tanah air yang pulang. Untuk komunikasi dengan
keluarganya keberadaan surat=menyurat via Pos menjadi wahana yang efektif
baginya.
Untuk pengiriman
remitansi, Amaq Sungkar telah mengirim sebanyak 3 Kali. Walaupun terlihat mulus
dan normal pada proses kerjanya, Amaq Sungkar tetap menemui kendala yakni
keharmonisan keluarganya yang terganggu. Sebab keluarganya pada saat it
uterus-terusan mencurigai istrinya dengan asumsi selingkuh dan menghabiskan
uang kiriman dari Amaq Sungkar. Sehingga pada saat itu, Amaq Sungkar terus
bersurat ke keluarganya dan menanyakan kejelasan atas informasi buruk tersebut.
Setelah balik ke tanah air pada Tahun 1994, segala praduga tersebut ternyata
hanya isapan jempol belaka dan amaq Sungkar tetap utuh menjaga keutuhan rumah
tangganya. Dari hal tersebut, Amaq Sungkar akhirnya memutuskan untuk bekerja di
tempatnya sendiri dan mengelola sumber daya yang ada hingga kini. Khusus untuk
periode tahun 1990-an terdapat stigma kesuksesan sesorang dalam bekerja yakni
jika orang tersebut mampu membeli lahan dan membangun rumah.
Menjelang tahun
2000-an, Warga dusun Tangar yang bernama Senun memegang estafet warga dalam
bermigrasi. Berbeda dengan decade sebelumnya yang sebagian besar memakai jasa
tekong dan tidak berdokumen. Maka keberangkatannya berdokumen melalui PT. Miras
yang berkantor di Korleko melalui PL yang bernama H. Aenuddin. Hal yang
mendasarinya berdokumen adalah dia sempat bermigrasi pada tahun 1991-1992
dengan menggunakan jasa tekong dan masuk penjara 8 Bulan. Akhirnya dia hanya
mendapatkan lelah dan tidak mendapatkan hasil apapun. Gambaran rute saat dia
berangkat melalui jasa tekong adalah Lombok-Sweta-Surabaya-Pekanbaru-Malaysia
Barat dengan total biaya keberangkatan sebesar Rp. 160.000. kemudian setelah
itu dia berangkat lagi pada tahun 1996-1999 dengan berdokumen. Melalui PT yang
sudah disebutkan di atas, Senun Berangkat dengan menggunakan rute perjalanan
Lombok-Selaparang-Surabaya-Kuala Lumpur dengan biaya keberangkatan sebesar Rp.
700.000.
Dia bekerja di
perkebunan sebagai Kontainer dengan
kontrak kerja yang jelas, adapun besaran gajinya adalah 800 RM atau setara
dengan Rp. 2.000.000. sehingga dari hasil kerjanya ini, dia dapat mengirimkan
Remitansi yang cukup besar kepada istrinya secara regular. Adapun untuk
pengiriman, dia menitipkan uangnya ke majikan yang selanjutnya ditransfer
melalui Bank BNI ke salah satu staf bank BNI yang merupakan keluarganya juga
yakni Umar. Dari hasil bekerjanya dia mampu membuat rumah dan membeli lahan.
Kemudian Senun pulang ke tanah air dan berangkat lagi pada tahun 1999-2000 ke
Negara tujuan yang sama dengan rute yang sama pula. Dia tetap bekerja di
perkebunan akan tetapi sebagai buruh sawit. Pendapatannya agak berkurang hanya
mendapat gaji sebesar 500-600 RM. Walaupun pendapatan menurun, berkat kejelian
dan kepintaran istrinya mengelola remitansi, hasil berupa tanah sawah seluas 1
hektar mampu dimilikinya. Adapun untuk rumah yang sudah dibangun terus di
renovasi dengan menyesuaikan format modern saat itu (Bale Batu). Sehingga dari hasil yang didapatkannya dia dianggap
sebagai TKI sukses dan menjadi acuan warga pada saat itu.
Satu decade
berikutnya, tepatnya pada tahun 2012. Salah seorang warga dusun Tangar yang
bernama LL. Satria kelahiran tahun 1981 berangkat ke Malaysia. Disertai dengan
dokumen lengkap melalui PT Bijak Mataram dia pergi dengan rute perjalanan
Lombok-Bandar Internasional Lombok (BIL)-Kuala Lumpur=Tringgano dengan biaya
Rp. 3.000.000. adapun motif keberangkatannya adalah untuk menghidupi
keluarganya. Bernagkat dengan keputusan bersama istrinya dia akhirnya mantap
untuk bermigrasi. Dari hasil bekerjanya dia mampu membayar beban
keberangkatannya dan membeli tanah seluas 2 Are untuk rencana membangun rumah.
Rumah merupakan kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi segera mengingat
kondisnya yang masih menumpang di rumah mertuanya. Sehingga dia bersama
istrinya bertekad untuk memperbaiki nasibnya dengan mengivestasikan remitansi
melalui tanah dan rumah. Sampai saat ini dia belum pulang dan masih berjihad untuk keluarga tercintanya.
Sebab ukuran keberhasilan saat ini bukan hanya memiliki rumah seperti tahun
2000-an, melainkan harus juga memiliki barang-barang mewah seperti Mobil atau
HP yang berkelas.
Walaupun
sebagian besar warga sudah berangkat melalui prosedur keberangkatan yang benar,
terdapat juga Warga yang masih belum bermigrasi secara procedural/ tidak aman.
Salah seorang warga bernama Irwan Hadi berangkat ke Malaysia via Paspor Pelancong.
Alasannya adalah selain memastikan keberangkatanya yang lebih cepat dan
penghasilan yang diterimanyapun cukup besar, diatas penghasilan para TKI yang
berdokumen. Walaupun sudah berkeluarga, dia berangkat tanpa diskusi terlebih
dahulu dengan istrinya. Dia berangkat murni dengan keputusan sendiri dan
menempuh rute perjalanan sebagai berikut: Mataram-Tanak Awu-Batam-Malaysia
dengan total biaya sebesar Rp. 5.000.000. bekerja sebagai buruh di perkebunan
dan mendapatkan upah sebesar 1.200 RM. Sampai
saat ini hasil diperoleh dari kerjanya adalah berupa sepeda motor. Akan tetapi,
kepergiannya teryata memberikan prahara ke rumah tangganya, beberapa bulan yang
lalu dia bercerai dengan istrinya melalui telpon. Kini Irwan Hadi tetap
melanjutkan pekerjaannya dengan tuntutan kesuksesan yang dipatok oleh warganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar